Nama : Melisa Kristiani Nainggolan
Nim : 2173342025
Asal Usul Etnis dan Nama Karo.
Berdasarkan mitos yang ada, asal-usul suku di Sumatera Utara bervariasi, ada yang
mengusut asal-usul leluhurnya dari langit yang turun di puncak gunung Pusuh Buhit
(Toba), ada yang berasal dari lapisan yang paling indah yang disebut Tetoholi Ana'a
yang turun di wilayah Gomo (Nias), ada yang berasal dari turunan Raja Iskandar
Zulkarnain yang turun di Bukit Siguntang Palembang (Melayu).
Berdasarkan perkiraan-perkiraan yang disusun para ahli, penduduk asli Sumatera
Utara ini berasal dari Hindia Belakang yang datang ke kawasan ini secara bertahap. Hal
inilah maka kemudian corak ragam budaya penduduk pribumi Sumatera Utara
ditemukan perbedaan-perbedaaan.
Dalam masyarakat Karo pun, ada ditemukan mitos tentang asal usul etnis ini. Mitos ini
tidak berkait erat dengan hal-hal yang sulit ditelusuri oleh akal seperti yang mengusut
asal-usul leluhurnya dari langit yang turun di puncak gunung Pusuh Buhit (Toba), atau
yang mengusul asal usulnya dan berkesimpulan dari lapisan yang paling indah yang
mereka sebut Tetoholi Ana'a yang turun di wilayah Gomo (Nias), atau yang
mengkaitkannya dengan turunan Raja Iskandar Zulkarnain yang turun di Bukit
Siguntang Palembang (Melayu). Dalam masyarakat Karo mitos tersebut berkaitan
dengan totem. Misalnya haram mengkonsumsi daging binatang seperti Kerbau Putih,
oleh subklen Sebayang, Burung Balam oleh subklen klen Tarigan, Anjing oleh
subklen Brahmana.
(Catatan : Totem yaitu kepercayaan akan adanya hubungan gaib antara sekelompok
orang - sesekali dengan seseorang - dengan segolongan binatang atau tanaman atau
benda mati sebab dipercayai antara benda-benda itu dengan dirinya ada suatu
hubungan yang erat dan sangat khusus.)
Dalam beberapa literatur tentang Karo, etimologi Karo berasal dari kata Haru. Kata
Haru ini berasal dari nama kerajaan Haru yang berdiri sekitar abad 14 sampai abad 15
di daerah Sumatera Bagian Utara. Kemudian pengucapan kata Haru ini berubah
menjadi Karo. Inilah diperkirakan awal terbentuknya nama Karo.
Menurut Sangti (1976:130) dan Sinar (1991:1617), sebelum klen Karo-Karo, Ginting,
Sembiring, Tarigan dan Perangin-angin menjadi bagian dari masyarakat Karo sekarang,
telah ada penduduk asli Karo pertama yakni klen Karo Sekali.
Dengan kedatangan kelompok klen Karo-Karo, Ginting, Sembiring, Tarigan dan
Perangin-angin, akhirnya membuat masyarakat Karo semakin banyak. Klen Ginting
misalnya adalah petualangan yang datang ke Tanah Karo melalui pegunungan Layo
Lingga, Tongging dan akhirnya sampai di dataran tinggi Karo. Klen Tarigan adalah
petualangan yang datang dari Dolok Simalungun dan Dairi. Perangin-angin
adalah petualangan yang datang dari Tanah Pinem Dairi. Sembiring diidentifikasikan
berasal dari orang-orang Hindu Tamil yang terdesak oleh pedagang Arab di Pantai
Barus menuju Dataran Tinggi Karo, karena mereka sama-sama menuju dataran tinggi
Karo, kondisi ini akhirnya, menurut Sangti mendorong terjadi pembentukan merga si
lima.
Pembentukan ini bukan berdasarkan asal keturunan menurut garis bapak (secara
genealogis patrilineal) seperti di Batak Toba, tetapi sesuai dengan proses peralihan
pertumbuhan dan perkembangan masyarakat Karo Tua kepada masyarakat Karo
Baru yakni lebih kurang pada tahun 1780. Pembentukan ini berkaitan dengan
keamanan, sebagai salah satu jalan keluar untuk mengatasi pergolakan antara orang-
orang yang datang dari kerajaan Aru dengan penduduk asli.
Kini pembentukan klen ini akhirnya melahirkan merga si lima (klen yang lima) yang
tidak dapat dipisahkan dari masyarakat Karo saat ini. Akhirnya masyarakat Karo yang
terdiri dari merga si lima yang berdomisili di dataran tinggi, kemudian menyebar ke
berbagai wilayah di sekitarnya, seperti ke Deli Serdang, Dairi Langkat, Simalungun dan
Tanah Alas (Aceh Tenggara). Bahkan secara individu kini mulai menyebar ke seluruh
wilayah Indonesia, maupun ke luar wilayah negara Indonesia.
Daerah Wilayah Budaya Masyarakat Karo
Menurut Neumann (1972:8) wilayah Karo adalah suatu wilayah yang luas, yang
terlepas dari perbedaan-perbedaan antar suku, yang menganggap dirinya termasuk ke
dalam Batak Karo, yang berbeda dengan Batak Toba, Batak Pak-Pak, Batak Timur (?=
Simalungun). Seluruh perpaduan suku-suku Batak Karo diikat oleh suatu dialek yang
dapat dimengerti dimana-mana dan hampir tidak ada perbedaannya antara yang satu
dengan yang lain.
Bangsa Karo berada di Langkat, Deli Serdang, dan Dataran Tinggi Karo sampai Tanah
Alas (Propinsi Aceh = Aceh Tenggara). Sementara itu Parlindungan (1964:495)
membagi wilayah Karo menjadi dua bahagian yaitu Wilayah Karo Gunung, wilayah ini
terletak 1000 meter di atas permukaan laut yang mencakup di sekitar Gunung Sinabung
dan Gunung Sibayak, dan wilayah Karo Dusun, 100 meter di atas permukaan laut.
Wilayah ini berada di luar dari Wilayah Karo Gunung. Daerah ini boleh jadi mencakup
Langkat, Deli Serdang, Simalungun, Pak-Pak Dairi sampai Tanah Alas.
Berdasarkan perkiraan Neumann dan Parlindungan di atas, wilayah budaya Karo pada
zaman sebelum kedatangan Belanda sangat luas. Namun setelah kedatangan Belanda
(Putro, 1981), wilayah Karo ini dibagi atas beberapa daerah. Pembagian ini bermotif
kepentingan politik pemerintahan jajahan Belanda.
1. Pada tahun 1908 (stbl no. 604) ditetapkan batas-batas Kabupaten Karo dengan
Kabupaten Dairi, dengan memasukkan daerah Karo Baluren, sepanjang sungai renun
kecamatan Tanah Pinem dan Kecamatan Lingga, masuk menjadi daerah Kabupaten
Dairi.
2. Pada tanggal 19 April 1912, dengan besluit Goverment Bijblad No. 7645,
menetapkan batas-batas Kabupaten Karo dengan Kabupaten Simalungun sekarang
dengan memasukkan Urung Silima Kuta ke dalam daerah tingkat II Kabupaten
Simalungun.
3. Pada tanggal 19 April 1912, dengan besluit Goverment No. 17, telah ditetapkan
pula batas antara Kabupaten Karo sekarang dengan Deli Hulu, dengan memisahkan
seluruh pantai Timur dengan Kabupaten Karo sekarang.
4. Karo Bingei, yang terdiri dari kecamatan Selapian dan kecamatan Bahorok
dimasukkan ke Kabupaten Langkat sekarang.
5. Karo Dusun, yang terdiri dari kecamatan Serbanyaman, kecamatan Sunggal dan
kecamatan Delitua dimasukkan ke Kabupaten Deli Serdang.
6. Karo Timur, dimasukkan ke daerah tingkat II Kotamadya Medan.
Pada masa penjajahan Belanda, pemerintahan jajahan Belanda membagi daerah Karo
dibagi menjadi 5 wilayah yang terdiri dari (1) Wilayah Lingga, (2) Wilayah Sarinembah,
(3) Wilayah Suka, (4) Wilayah Barusjahe, dan (5) Wilayah Kutabuluh. Masing-masing
wilayah ini terdiri dari beberapa desa.
Pada masa Pemerintahan Jepang, wilayah ini tidak mengalami perubahan. Namun
setelah Indonesia merdeka wilayah ini masuk menjadi bagian daerah tingkat II
Kabupaten Karo yang dikepalai oleh seorang Bupati yang berkedudukan di Kabanjahe.
Kini yang masuk ke dalam daerah wilayah Karo secara politik adalah
yang terletak dan masuk ke dalam wilayah Kabupaten Tingkat II Karo dengan
ibukotanya berkedudukan di Kabanjahe,
Batas-batasnya adalah:
- Sebelah Utara dengan Langkat dan Deli Serdang
- Sebelah Selatan dengan Dairi dan Danau Toba
- Sebelah Timur dengan Simalungun dan
- Sebelah Barat dengan Aceh Tenggara (Prop Aceh).
Secara administratif, kini Kabupaten Karo dibagi atas 13 wilayah Kecamatan yang
mencakup Kecamatan Barus Jahe, Kecamatan Tigapanah Kecamatan Kabanjahe,
Kecamatan Brastagi, Kecamatan Merek, Kecamatan Simpang Empat, Kecamatan
Payung, Kecamatan Tiganderket, Kecamatan Kutabuluh, Kecamatan Munte,
Kecamatan Laubaleng, Kecamatan Tiga Binanga, Kecamatan Juhar dan Kecamatan
Mardinding.
Namun demikian bila membicarakan wilayah budaya masyarakat Karo secara
tradisional (kultural) tidak hanya mencakup Kabupaten Dati II Karo sekarang ini saja,
tetapi mencakup kewedanaan Karo Jahe yang mencakup daerah tingkat II Deli
Serdang, terdiri dari Kecamatan Pancurbatu, Kecamatan BiruBiru, Kecamatan
Sibolangit, Kecamatan Lau Bakeri dan Kecamatan Namorambe (Tambun, 1952:177-
179), Kecamatan Kutalimbaru, Kecamatan Gunung Meriah, Kecamatan STM Hulu,
Kecamatan STM Hilir, Kecamatan Bangun Purba, Kecamatan Galang, Kecamatan
Tanjong Morawa, Kecamatan Deli Tua, Kecamatan Patumbak, Kecamatan Sunggal
(Brahmana, 1995:11). Di daerah tingkat II Langkat mencakup Kecamatan Sei Binge,
Kecamatan Salapian dan Kecamatan Bahorok, Kecamatan Kuala, Kecamatan Selesai
dan Kecamatan Padang Tualang. Di daerah tingkat II Dairi, di kecamatan Tanah Pinem,
Kutabuluh, di daerah tingkat II Simalungun di sekitar perbatasan Karo dengan
Simalungun, dan di daerah Aceh Tenggara.
Alat musik tradisional Karo non-ensambel (bagian 6)
7.3 Alat musik tradisional Karo non-ensambel
Selain alat-alat musik yang termasuk dalam kedua ensambel yang telah diuraikan di atas, masih
terdapat lagi beberapa alat musik tradisional Karo yang dimainkan secara sendiri (solo) tanpa
disertai atau diiringi dengan alat musik yang lain (non-ensembel). Alat musik solo tersebut
adalah Kulcapi, balobat, surdam, embal-embal, empi-empi, murbab, genggong, dan tambur
7.3.1 Kulcapi
Alat musik Kulcapi yang dimaksud dalam alat musik solo ini sama dengan Kulcapi yang telah
diuraikan dalam gendang telu sedalanen, namun perannya dalam kebudayaan musik Karo lebih
dari satu yakni dapat dimainkan dalam ensambel, dan dapat juga dimainkan secara solo
(tunggal). Perbedaannya adalah konteks penyajian. Kulcapi sebagai alat musik solo biasa
digunakan sebagai hiburan pribadi, maupun dihadapan sekelompok kecil pendengar yang tidak
memiliki konteks tertentu.
Kulcapi
Sebagai alat musik pribadi, Kulcapi memiliki komposisi-komposisi tersendiri yang berisi tentang
ceritera-cerita rakyat, seperti cerita penganjak kuda sitajur, cerita perkatimbung beru tarigan,
tangis-tangis seberaya, tangis-tangis guru, dan beberapa cerita lainnya.
Masing-masing ceritera tersebut dimainkan melalui melodi Kulcapi. Jika didengarkan oleh
sekelompok orang sebagai hiburan, kadangkadang timbul pertanyaan dari pendengar tentang arti
melodi yang sedang dibawakan oleh perKulcapi karena mereka tidak mengerti. PerKulcapi
biasanya akan menjelaskan cerita dari melodi yang sedang ia mainkan sambil mengulangi melodi
tersebut, sehingga pendengar akan semakin mengerti dengan melodi-melodi yang dimainkan
perKulcapi.
7.3.2 Balobat
Balobat (block flute) sebagai instrumen solo juga merupakan alat musik yang sama dengan
balobat yang terdapat dalam gendang balobat. Perbedaannya adalah konteks penyajian. Balobat
sebagai instrumen solo digunakan sebagai hiburan pribadi ketika sedang mengembalakan ternak
di padang rumput, ketika sedang menjaga padi di sawah atau di ladang.
Balobat
7.3.3 Surdam
Surdam juga alat musik tiup yang terbuat dari bambu. Alat musik surdam ditiup dari belakang
dengan ruas bambu yang terbuka (endblown flute). Secara konstruksi dan tehnik memainkan,
surdam memiliki kemiripan dengan saluang pada musik tradisional Minangkabau atau
shakuhachi pada musik tradisional Jepang.
Tidak seperti balobat yang secara sederhana dapat langsung berbunyi ketika ditiup, surdam
memiliki teknik khusus untuk meniupnya agar dapat berbunyi (lihat Lampiran Gambar L.3).
Tanpa menguasai teknik tersebut, surdam tidak akan berbunyi ketika ditiup. Alat musik surdam
biasanya dimainkan pada malam hari ketika suasana sepi.
7.3.4 Embal-embal dan empi-empi
Kedua alat musik ini sebenarnya merupakan alat musik yang hanya biasa ditemukan pada sawah
atau ladang ketika padi sedang menguning. Keduanya dimainkan atau digunakan sebagai alat
musik hiburan pribadi di sawah atau di ladang ketika menjaga padi dari gangguan burung.
Embal-embal (aerophone, single reed) terbuat dari satu ruas bambu yang dibuat lobang-lobang
penghasil nada. Sebagai alat musik tiup, lidah (reed) embal-embal dibuat dari badan alat musik
alat musik itu sendiri.
Empi-empi (aerophone, multiple reeds) terbuat dari batang padi yang telah mulai menguning.
Lidah (reed) dari empi-empi dibuat dari batang padi itu sendiri, dengan cara memecahkan
sebagian kecil dari salah satu ujung batang padi yang memiliki ruas. Akibat terpecahnya ruas
batang padi menjadi beberapa bagian (tidak terpisah) maka ketika ditiup bagian yang terpecah
tersebut akan menimbulkan bunyi.
Sebagian yang tidak terpecah kemudian dibuat lobang-lobang untuk menghasilkan nada yang
berbeda. Biasanya empi-empi mempunyai empat buah lobang nada. Untuk saat sekarang,
embal-embal dan empi-empi sudah semakin jarang ditemukan/dimainkan oleh masyarakat Karo,
khususnya orang Karo yang berada di daerah pedesaan.
7.3.5 Murbab, dan Genggong.
Alat musik murbab atau murdab merupakan alat musik gesek menyerupai rebab pada alat
musik tradisional Jawa atau biola pada musik klasik barat. Murbab terdiri dari dua senar,
sedangakan resonatornya terbuat dari tempurung kelapa. Alat musik murbab dahulu
dipergunakan sebagai alat musik solo dan dimainkan dihadapan beberapa orang sebagai hiburan.
Alat musik ini kemungkinan besar telah hilang dari kebudayaan musik Karo.
Genggong adalah alat musik yang terbuat dari besi, dan dibunyikan dengan menggunakan mulut
sebagai resonator. Selain sebagai resonator, mulut juga berfungsi untuk mengubah tinggi
rendahnya nada yang diinginkan. Pada waktu dulu, genggong dipergunakan oleh anak perana
(perjaka) untuk memanggil singudanguda (gadis) pujaan hatinya pada malam hari agar keluar
dari rumah, sehingga mereka bisa memadu kasih asmara. Biasanya, seorang anak perana
memainkan genggong dengan lagu tertentu yang telah dimengerti oleh kekasihnya, sehingga dia
akan keluar dari rumah. Genggong juga diperkirakan telah hilang dari kebudayaan musik Karo
saat ini.