NAMA : AKMAL HIDAYAT HARAHAP
NIM : 2173142001
Di dunia ini, alat musik perkusi sudah ada selama
ribuan tahun di setiap kebudayaan dan telah digunakan oleh ummat manusia dengan
berbagai cara, seperti berkomunikasi dengan komunitas tetangga, untuk
mengiringi tari-tarian, serta memfasilitasi upacara adat dan ritual.[9] Di
samping suara manusia, alat musik pukul (perkusi) seperti gendang
adalah salah satu artefak yang paling mendasar dan penting. Ada banyak contoh gendang
di seluruh dunia yang digunakan untuk agama, hiburan atau sebagai sarana
komunikasi. Misalnya di Afrika, dimana musik merupakan interpretasi atas
kehidupan manusia, gendang mereka gunakan sebagai ”pidato”. Dalam hal
ini, pola beat yang dimainkan dengan cara tertentu dapat
mengkomunikasikan sejumlah besar informasi. Di bagian tertentu di Afrika, gendang
sangat dihormati, serta juga diberikan entitas dan gender. Karena kesederhanaan
desainnya sejak awal sehingga gendang tetap tidak berubah selama
ribuan tahun, adalah instrumen tertua yang ada sampai sekarang. Gendang
tertua di dunia ditemukan dari zaman Neolitik (6.000 SM).[10]
Di Mandailing ternyata tano
(tanah) tidak hanya digunakan sebagai tempat untuk bercocok tanam di sawah dan
ladang, melainkan juga dipakai sebagai komponen utama dari alat musik tertentu
untuk menghasilkanya bunyi musikal, yaitu gordang tano. Untuk membuat gordang
tano ini tanah keras digali dengan ukuran panjang 3 meter, lebar 25
sentimeter dan dengan kedalaman 40 sentimeter. Lubang galian ditutup rapat
dengan papan tipis setebal 2 sentimeter, sehingga dengan demikian lubang galian
tersebut berfungsi sebagai resonator untuk menghasilkan resonansi bunyi. Lalu
pada kedua ujung lubang dibenamkan pasak kayu keras, dan rotan tua yang halus,
yang digunakan sebagai dawai, melintasi kuda-kuda di atas lubang yang ditutup
dengan papan itu. Dengan alat pemukul (stik) sebesar ibu jari yang panjangnya
sekitar 30 sentimeter, sebanyak lima orang pemainnya menabuh dawai dengan
teknik dan pola-pola ritmik tertentu. Dalam memainkan gordang tano
ini, seseorang bertindak sebagai ”master” (”pemimpin”) yang bermain
pada bagian bunyi paling besar, sedangkan keempat penabuh lainnya berada di
depannya yang bertindak sebagai panduai (”pengikut”).
Selain itu katanya alat ini gordang (tano) dimainkan untuk upacara ritual mangido udan (meminta hujan turun). dawai-dawai (rotan) yang ditabuh oleh para pemainnya itu menciptakan bunyi yang paling komplet dan untaian iramanya persis suara bas berukuran rakrasa. Diperkirakan gordang tano tergolong alat musik yang usianya cukup tua kalau dipandang dari segi ciri-ciri dan karakter pola ritmisnya, serta pengulangan-pengulangan melodi dengan nada yang sangat terbatas. gordang telah berusia 300 tahun lebih. Gordang sudah dikenal lebih dari empat generasi di Mandailing, dimana gordang digunakan pada upacara ritual memanggil hujan dan berfungsi untuk membangkitkan semangat dalam pertempuran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar