Selasa, 26 Desember 2017

Sejarah alat musik sasando

Nama : chairuna Raisa mariz

Sasando adalah sebuah alat instrumen petik musik. Bentuk sasando mirip dengan instrumen petik lainnya seperti gitar, biola, dan kecapi. Tetapi keunikannya adalah bagian utama sasando berbentuk tabung panjang seperti harpa yang biasanya terbuat dari bambu. Sasando mempunyai media pemantul suara yang terbuat dari daun pohon gebang (sejenis pohon lontar yang banyak tumbuh di Pulau Timor dan Pulau Rote) yang dilekuk menjadi setengah melingkar.

Salah satu faktor yang memengaruhi lahirnya kebudayaan suatu daerah adalah struktur dan kondisi alam dari daerah itu. Hal ini juga terjadi pada kebudayaan orang Rote, tempat asal alat musik sasando. Keberadaan tanaman lontar di Pulau Rote cukup memberi arti bagi NTT karena dari pohon itu, ide membuat sasando muncul. Pohon lontar menjadi peletak dasar kebudayaan masyarakat.
Masyarakat Rote tidak hanya memanfaatkan tanaman ini sebagai sumber kehidupan, yaitu sebagai penghasil tuak, sopi (minuman tradisional), gula lempeng, gula air, gula semut, tikar, haik, sandal, topi atap rumah maupun bahan bangunan, tetapi lebih dari itu, masyarakat sudah menganggap tanaman ini memiliki nilai lebih karena sudah menginspirasi lahirnya alat musik sasando. Sampai sekarang daun pohon lontar ini masih tetap dipertahankan sebagai resonator alat musik ini.

Yusak Meok, salah satu pemateri pada seminar Musik Sasando di Hotel Kristal, beberapa waktu lalu mengatakan, Sasando yang seharusnya bernama sasandu (bunyi yang dihasilkan dari getar), lahir dari inspirasi penemunya dari hasil interaksi dengan alam.





Artikel alat musik tradisional sasando

Menurut Meok, ada berbagai versi mengenai sejarah tentang alat musik ini, diantaranya konon ada seorang pemuda bernama Sangguana pada tahun 1650-an terdampar di Pulau Ndana. Sangguana memiliki bakat seni, sehingga penduduk membawanya ke istana, kemudian putri istana terpikat dan meminta Sangguana menciptakan alat musik. Sangguana pun bermimpi pada suatu malam sedang memainkan alat musik yang diciptakannya, kemudian diberi nama sandu (bergetar).
Karena alat musik yang telah dipasang dalam haik itu beresonansi, maka disebut sandu atau sanu yang mempunyai arti bergetar atau getaran. Alat ini kemudian disebut sebagai sasandu yang berasal dari kata ulang sandu-sandu atau bergetar berulang- ulang. Dengan perkembangan yang terjadi, maka sasandu ini lebih dilafalkan menjadi sasando, sehingga terbawa sampai saat ini. Namun, ucapan ini tidak mengubah bentuk dan suara dari alat musik ini.

Petrus Riki Tukan, pemateri lainnya, mengatakan, alat musik sasando merupakan sebuah fenomena budaya pada umumnya dan kesenian (musik) khususnya yang cukup menggoda naluri seniman. Kiranya dengan perhatian SBY terhadap alat musik ini dapat mendorong semangat anak Flobamora untuk melestarikan, mengembangkan dan melindungi alat musik ini sebagai kebanggaan daerah NTT.



Kamis, 14 Desember 2017

ARTIKEL” SEJARAH ALAT MUSIK GENDANG MELAYU



NAMA : Arief Rahman
Nim     : 2161142006


Sesuai dengan namanya, Gendang Melayu merupakan alat musik yang dijadikan sebagai alat musik khas suku Melayu, khususnya di daerah Sumatera Utara Indonesia. Alat musik ini terbuat dari kulit binatang seperti kerbau, kambing atau lembu, dan alat musik ini merupakan salah satu alat musik dalam keluarga genderang. Setiap bangsa seperti China, Melayu dan India mempunyai gendang dengan nama-namanya tersendiri. Gendang dapat dibuat dalam berbagai ukuran dan kegunaan. Ada gendang yang digunakan untuk persilatan bagi orang Melayu. Ada gendang yang digunakan bagi tari-tarian dan ada juga yang digunakan untuk menyambut perayaan dan untuk acara tertentu.
Secara umum gendang terdiri dari dua jenis, yaitu gendang biasa dan gendang hadrah. Gendang Biasa disebut juga dengan Gendang Tiong atau Gendang Campak. Gendang ini memiliki Tawangan (tabung Silinder) yang panjang, bervariasi antara 20-40 cm. Sementara garis tengah dalamnya disesuaikan dengan panjang tawangan. Bentuk tawangan lurus, yaitu bagian ujung sama besarnya dengan pangkalnya. Di salah satu ujung tawangan dipasang membran dari kulit kambing. Dan untuk mendapatkan suara bass biasanya orang menggunakan kulit sapi yang dipasang pada tawang berukuran besar. Membran gendang ini tidak dipasang secara permanen, melainkan diikat dengan rotan sedemikian rupa sehingga dapat dikencangkan atau dikendorkan sesuai dengan keinginan.  Untuk Gendang Hadrah, jenis ini mempunyai tawangan yang biasanya berukuran antara 15-30 cm. Membrannya memakai kulit kambing yang dipaku secara permanen pada tawangan. Disekeliling lingkaran tawangan terdapat tiga lubang untuk memasang giring-giring dari logam. Seperangkat gendang ini dapat dimainkan apabila ada minimal 3 buah gendang dengan nada suara yang berbeda. Biasanya dipakai pada acara arak-arakan penganten, upacara menyambut tamu, dan lain-lain. Gendang Melayu dan gendang lainnya sebenarnya memang tidak jauh berbeda, karena pada intinya alat musik itu sejenis. Cara pembuatannya pun secara umum juga sama. Pembuatan gendang sebenarnya tidaklah sulit, hanyalah dengan melubangi bagian kayu menggunakan peralatan tradisional sehingga membentuk dan menghiasi gendang. Meskin cara tersebut cukup menguras tenaga karena harus menghaluskan bahan baku agar suaranya bisa bagus. Pilihlah pohon dengan lingkaran kayu yang besar, kemudian di potong dengan ukuran 30/35-45 cm. Kayu dilubangi dengan pahat hingga tipis. Pada bagian muka tempat menempel kulit dibuat agak tipis kira-kira setebal ibu jari. Pada bagian belakangnya dibuat agak tebal dan diberi lingkaran setebal setengah atau 2 jari, dan kayu yang biasanya digunakan adalah dari jenis kayu mahoni.  Cara memainkan gendang juga cukup mudah. Dalam hal ini dikatakan mudah karena tidak diperlukan suatu not khusus untuk memainkannya. Memang alat musik pukul pada umumnya tidak begitu rumit untuk dimainkan. Mungkin hanya alat musik pukul modern seperti drum saja yang cukup rumit untuk memainkannya. Cara memainkan alat musik gendang ini cukup dengan dipukul, baik dengan tangan saja atau bisa juga dengan alat pemukul gendang. Sebuah gendang melayu biasanya dihargai antara Rp. 600 hingga 800 ribu tergantung ukuran dan juga motif dari ukirannya.

Rabu, 13 Desember 2017

Asal usul musik saluang

NAMA : LASTRI SIHOMBING
NIM : 2171142008
Asal usul dan fungsi alat musik saluang minangkabau
Pertunjukan saluang minang
Alat musik tradisional khas sumatera barat – Saluang adalah salah satu alat musik tradisional Minangkabau, Sumatera Barat. terbuat dari bambu tipis atau talang. Orang Minangkabau percaya bahwa bahan yang paling bagus untuk dibuat saluang berasal dari talang untuk jemuran kain atau talang yang ditemukan hanyut di sungai.

Pertama kali Munculnya Alat Musik Saluang adalah dinagari Singgalang Kabupaten Tanah Datar oleh salah seorang penduduk Nagari Singgalang yang bernama ‘si Kalam’. Pada saat menemukan alat musik ini berawal dari ide membuat alat bunyi-bunyian sebagai alat untuk mengungkapkan isi perasaan untuk mengisi waktu – waktu senggang. Akhirnya ide ‘si kalam’ ini berkembang terus menjadi sebuah alat kesenian yang mempunyai nilai tersendiri dan menjadi kegemaran masyarakat di sekitarnya.

Saluang termasuk dari golongan alat musik suling, tapi lebih sederhana pembuatannya, cukup dengan melubangi talang dengan empat lubang. Panjang saluang kira-kira 40-60 cm, dengan diameter 3-4 cm. Pada bagian pangkalnya terdapat empat buah lobang nada, pada bagian ujung saluang terdapat suai sebagai tempat meniup.

Cara membuat alat musik saluang

Seperti jenis seruling pada umumnya, alat musik tiup ini terbuat dari bambu tipis atau talang (Schizostachyum brachycladum Kurz). Orang Minangkabau percaya bahwa bahan yang paling bagus untuk dibuat saluang berasal dari talang untuk jemuran kain atau talang yang ditemukan hanyut di sungai, namun dalam pembuatan alat musik ini lebih sederhana, yaitu :

Panjang : 40-60 cm dengan diameter 3 sampai 4 meter dan tebal kurang dari 1 mm, untuk lubangnya, kita cukup membuat 4 lubang saja, agar dapat menghasilkan nada yang bagus, lubang dibuat bulat sempurna dengan ukuran garis tengah 0.5 cm.
Untuk bagian atas dan bawahnya dibiarkan berongga atau berlubang, bagian atas berfungsi untuk meniup dan bawah berfungsi unuk tempat keluarnya udara, hal ini merupakan salah satu yang membedakan pembuatan seruling biasa dan saluang, pada bagian atas atau tempat untuk meniupnya dibuat meruncing sekitar 45 derajat sesuai ketebala bambu atau talang tersebut.
Masyarakat minang menyebut dengan istilah Suai.  untuk membaut luabng, anda harus menghitung jarak 2/3 dari panjang keseluruhan saluang, yang dihitung dari bagian atas, disitulah lubang pertama dibuat, sedangkan untuk luabng kedua dan ketiga, dibuat dengan jarak yang sama dari lubang ke lubang dengan jarak setengah lingkaran rongga bambu.

Cara memainkan alat musik saluang
Hal yang utama dalam memain kan saluang ini adalah cara meniup dan menarik nafas secara bersamaan, sehingga peniup saluang dapat memainkan alat musik itu dari awal dari akhir lagu tanpa putus (circular breathing). Teknik yang dinamakan manyisiahango kini dapat dikuasai dengan latihan yang berkesinambungan. Jangan lupa tiuplah dari bagian atas yang telah di runcingkan atau di suai agar nyaman dan mudah mengatur posisi mulut dengan posisi ujung saluang berada pada samping bibir. Selain itu, kekhasan dan keunikan alat musik ini terdapat pada gaya memainkan saluang yang berbeda-beda. Setiap daerah di Minangkabau memiliki cara tersendiri dalam hal meniup saluang. Tiap nagari di Minangkabau mengembangkan sendiri cara meniup saluang. Hal inilah yang menyebabkan keragaman gaya meniup dan memainkan saluang. Singgalang, Pariaman, Solok Salayo, Koto Tuo, Suayan dan Pauah adalah nama daerah sekaligus nama gaya dalam meniup saluang. Gaya Singgalang dianggap cukup sulit dimainkan oleh pemula, dan biasanya nada Singgalang ini dimainkan pada awal lagu. Ratok Solok dari daerah Solok menjadi gaya yang paling sedih di telinga.

Dimanakah kita bisa mnikmati alunan musik ini? Perkawinan, batagak rumah, batagak pangulu, dan lain-lain merupakan acara yang biasa menyuguhkan permainan musik ini. Apabila kita ingin menikmati permainan saluang ini, hendaknya datang ke acara tersebut setelah salat Isya dan baru akan berakhir menjelang subuh. Dendangan para dara-dara cantik Minang bisa menjadi daya tarik tersendiri. Selain kelihaian para pemainnya, dendangan saluang sendiri berisikan pesan, sindiran, dan juga kritikan halus. Dendangan tersebut dapat mengembalikan ingatan si pendengar terhadap kampung halaman ataupun terhadap kehidupan yang sudah, sedang, dan akan dijalani.

Berikut judul-judul lagu saluang yang banyak dikenal di masyarakat Minangkabau, antara lain: Ambun Pagi, Lubuak Sao, MuaroLabuah, Padang Magek, Ratokkoto Tuo, dan Ratok Solok


Asal usul etnik karo

Nama : Melisa Kristiani Nainggolan
Nim    : 2173342025

Asal Usul Etnis dan Nama Karo.
Berdasarkan mitos yang ada, asal-usul suku di Sumatera Utara bervariasi, ada yang
mengusut asal-usul leluhurnya dari langit yang turun di puncak gunung Pusuh Buhit
(Toba), ada yang berasal dari lapisan yang paling indah yang disebut Tetoholi Ana'a
yang turun di wilayah Gomo (Nias), ada yang berasal dari turunan Raja Iskandar
Zulkarnain yang turun di Bukit Siguntang Palembang (Melayu).
Berdasarkan perkiraan-perkiraan yang disusun para ahli, penduduk asli Sumatera
Utara ini berasal dari Hindia Belakang yang datang ke kawasan ini secara bertahap. Hal
inilah maka kemudian corak ragam budaya penduduk pribumi Sumatera Utara
ditemukan perbedaan-perbedaaan.
Dalam masyarakat Karo pun, ada ditemukan mitos tentang asal usul etnis ini. Mitos ini
tidak berkait erat dengan hal-hal yang sulit ditelusuri oleh akal seperti yang mengusut
asal-usul leluhurnya dari langit yang turun di puncak gunung Pusuh Buhit (Toba), atau
yang mengusul asal usulnya dan berkesimpulan dari lapisan yang paling indah yang
mereka sebut Tetoholi Ana'a yang turun di wilayah Gomo (Nias), atau yang
mengkaitkannya dengan turunan Raja Iskandar Zulkarnain yang turun di Bukit
Siguntang Palembang (Melayu). Dalam masyarakat Karo mitos tersebut berkaitan
dengan totem. Misalnya haram mengkonsumsi daging binatang seperti Kerbau Putih,
oleh subklen Sebayang, Burung Balam oleh subklen klen Tarigan, Anjing oleh
subklen Brahmana.
(Catatan : Totem yaitu kepercayaan akan adanya hubungan gaib antara sekelompok
orang - sesekali dengan seseorang - dengan segolongan binatang atau tanaman atau
benda mati sebab dipercayai antara benda-benda itu dengan dirinya ada suatu
hubungan yang erat dan sangat khusus.)
Dalam beberapa literatur tentang Karo, etimologi Karo berasal dari kata Haru. Kata
Haru ini berasal dari nama kerajaan Haru yang berdiri sekitar abad 14 sampai abad 15
di daerah Sumatera Bagian Utara. Kemudian pengucapan kata Haru ini berubah
menjadi Karo. Inilah diperkirakan awal terbentuknya nama Karo.
Menurut Sangti (1976:130) dan Sinar (1991:1617), sebelum klen Karo-Karo, Ginting,
Sembiring, Tarigan dan Perangin-angin menjadi bagian dari masyarakat Karo sekarang,
telah ada penduduk asli Karo pertama yakni klen Karo Sekali.
Dengan kedatangan kelompok klen Karo-Karo, Ginting, Sembiring, Tarigan dan
Perangin-angin, akhirnya membuat masyarakat Karo semakin banyak. Klen Ginting

misalnya adalah petualangan yang datang ke Tanah Karo melalui pegunungan Layo
Lingga, Tongging dan akhirnya sampai di dataran tinggi Karo. Klen Tarigan adalah
petualangan yang datang dari Dolok Simalungun dan Dairi. Perangin-angin
adalah petualangan yang datang dari Tanah Pinem Dairi. Sembiring diidentifikasikan
berasal dari orang-orang Hindu Tamil yang terdesak oleh pedagang Arab di Pantai
Barus menuju Dataran Tinggi Karo, karena mereka sama-sama menuju dataran tinggi
Karo, kondisi ini akhirnya, menurut Sangti mendorong terjadi pembentukan merga si
lima.
Pembentukan ini bukan berdasarkan asal keturunan menurut garis bapak (secara
genealogis patrilineal) seperti di Batak Toba, tetapi sesuai dengan proses peralihan
pertumbuhan dan perkembangan masyarakat Karo Tua kepada masyarakat Karo
Baru yakni lebih kurang pada tahun 1780. Pembentukan ini berkaitan dengan
keamanan, sebagai salah satu jalan keluar untuk mengatasi pergolakan antara orang-
orang yang datang dari kerajaan Aru dengan penduduk asli.

Kini pembentukan klen ini akhirnya melahirkan merga si lima (klen yang lima) yang
tidak dapat dipisahkan dari masyarakat Karo saat ini. Akhirnya masyarakat Karo yang
terdiri dari merga si lima yang berdomisili di dataran tinggi, kemudian menyebar ke
berbagai wilayah di sekitarnya, seperti ke Deli Serdang, Dairi Langkat, Simalungun dan
Tanah Alas (Aceh Tenggara). Bahkan secara individu kini mulai menyebar ke seluruh
wilayah Indonesia, maupun ke luar wilayah negara Indonesia.
Daerah Wilayah Budaya Masyarakat Karo
Menurut Neumann (1972:8) wilayah Karo adalah suatu wilayah yang luas, yang
terlepas dari perbedaan-perbedaan antar suku, yang menganggap dirinya termasuk ke
dalam Batak Karo, yang berbeda dengan Batak Toba, Batak Pak-Pak, Batak Timur (?=
Simalungun). Seluruh perpaduan suku-suku Batak Karo diikat oleh suatu dialek yang
dapat dimengerti dimana-mana dan hampir tidak ada perbedaannya antara yang satu
dengan yang lain.
Bangsa Karo berada di Langkat, Deli Serdang, dan Dataran Tinggi Karo sampai Tanah
Alas (Propinsi Aceh = Aceh Tenggara). Sementara itu Parlindungan (1964:495)
membagi wilayah Karo menjadi dua bahagian yaitu Wilayah Karo Gunung, wilayah ini
terletak 1000 meter di atas permukaan laut yang mencakup di sekitar Gunung Sinabung
dan Gunung Sibayak, dan wilayah Karo Dusun, 100 meter di atas permukaan laut.
Wilayah ini berada di luar dari Wilayah Karo Gunung. Daerah ini boleh jadi mencakup
Langkat, Deli Serdang, Simalungun, Pak-Pak Dairi sampai Tanah Alas.
Berdasarkan perkiraan Neumann dan Parlindungan di atas, wilayah budaya Karo pada
zaman sebelum kedatangan Belanda sangat luas. Namun setelah kedatangan Belanda
(Putro, 1981), wilayah Karo ini dibagi atas beberapa daerah. Pembagian ini bermotif
kepentingan politik pemerintahan jajahan Belanda.

1. Pada tahun 1908 (stbl no. 604) ditetapkan batas-batas Kabupaten Karo dengan
Kabupaten Dairi, dengan memasukkan daerah Karo Baluren, sepanjang sungai renun
kecamatan Tanah Pinem dan Kecamatan Lingga, masuk menjadi daerah Kabupaten
Dairi.
2. Pada tanggal 19 April 1912, dengan besluit Goverment Bijblad No. 7645,
menetapkan batas-batas Kabupaten Karo dengan Kabupaten Simalungun sekarang
dengan memasukkan Urung Silima Kuta ke dalam daerah tingkat II Kabupaten
Simalungun.
3. Pada tanggal 19 April 1912, dengan besluit Goverment No. 17, telah ditetapkan
pula batas antara Kabupaten Karo sekarang dengan Deli Hulu, dengan memisahkan
seluruh pantai Timur dengan Kabupaten Karo sekarang.
4. Karo Bingei, yang terdiri dari kecamatan Selapian dan kecamatan Bahorok
dimasukkan ke Kabupaten Langkat sekarang.
5. Karo Dusun, yang terdiri dari kecamatan Serbanyaman, kecamatan Sunggal dan
kecamatan Delitua dimasukkan ke Kabupaten Deli Serdang.
6. Karo Timur, dimasukkan ke daerah tingkat II Kotamadya Medan.
Pada masa penjajahan Belanda, pemerintahan jajahan Belanda membagi daerah Karo
dibagi menjadi 5 wilayah yang terdiri dari (1) Wilayah Lingga, (2) Wilayah Sarinembah,
(3) Wilayah Suka, (4) Wilayah Barusjahe, dan (5) Wilayah Kutabuluh. Masing-masing
wilayah ini terdiri dari beberapa desa.
Pada masa Pemerintahan Jepang, wilayah ini tidak mengalami perubahan. Namun
setelah Indonesia merdeka wilayah ini masuk menjadi bagian daerah tingkat II
Kabupaten Karo yang dikepalai oleh seorang Bupati yang berkedudukan di Kabanjahe.
Kini yang masuk ke dalam daerah wilayah Karo secara politik adalah
yang terletak dan masuk ke dalam wilayah Kabupaten Tingkat II Karo dengan
ibukotanya berkedudukan di Kabanjahe,
Batas-batasnya adalah:
- Sebelah Utara dengan Langkat dan Deli Serdang
- Sebelah Selatan dengan Dairi dan Danau Toba
- Sebelah Timur dengan Simalungun dan
- Sebelah Barat dengan Aceh Tenggara (Prop Aceh).
Secara administratif, kini Kabupaten Karo dibagi atas 13 wilayah Kecamatan yang
mencakup Kecamatan Barus Jahe, Kecamatan Tigapanah Kecamatan Kabanjahe,
Kecamatan Brastagi, Kecamatan Merek, Kecamatan Simpang Empat, Kecamatan
Payung, Kecamatan Tiganderket, Kecamatan Kutabuluh, Kecamatan Munte,
Kecamatan Laubaleng, Kecamatan Tiga Binanga, Kecamatan Juhar dan Kecamatan
Mardinding.

Namun demikian bila membicarakan wilayah budaya masyarakat Karo secara
tradisional (kultural) tidak hanya mencakup Kabupaten Dati II Karo sekarang ini saja,
tetapi mencakup kewedanaan Karo Jahe yang mencakup daerah tingkat II Deli
Serdang, terdiri dari Kecamatan Pancurbatu, Kecamatan BiruBiru, Kecamatan
Sibolangit, Kecamatan Lau Bakeri dan Kecamatan Namorambe (Tambun, 1952:177-
179), Kecamatan Kutalimbaru, Kecamatan Gunung Meriah, Kecamatan STM Hulu,
Kecamatan STM Hilir, Kecamatan Bangun Purba, Kecamatan Galang, Kecamatan
Tanjong Morawa, Kecamatan Deli Tua, Kecamatan Patumbak, Kecamatan Sunggal
(Brahmana, 1995:11). Di daerah tingkat II Langkat mencakup Kecamatan Sei Binge,
Kecamatan Salapian dan Kecamatan Bahorok, Kecamatan Kuala, Kecamatan Selesai
dan Kecamatan Padang Tualang. Di daerah tingkat II Dairi, di kecamatan Tanah Pinem,
Kutabuluh, di daerah tingkat II Simalungun di sekitar perbatasan Karo dengan
Simalungun, dan di daerah Aceh Tenggara.
Alat musik tradisional Karo non-ensambel (bagian 6)
7.3  Alat musik tradisional Karo non-ensambel
Selain alat-alat musik yang termasuk dalam kedua ensambel yang telah diuraikan di atas, masih
terdapat lagi beberapa alat musik tradisional Karo yang dimainkan secara sendiri (solo) tanpa
disertai atau diiringi dengan alat musik yang lain (non-ensembel). Alat musik solo tersebut
adalah   Kulcapi,  balobat, surdam, embal-embal, empi-empi, murbab, genggong, dan tambur
7.3.1  Kulcapi
Alat musik  Kulcapi yang dimaksud dalam alat musik solo ini sama dengan  Kulcapi yang telah
diuraikan dalam  gendang telu sedalanen, namun perannya dalam kebudayaan musik Karo lebih
dari satu yakni dapat dimainkan dalam ensambel, dan dapat juga dimainkan secara solo
(tunggal). Perbedaannya adalah konteks penyajian. Kulcapi sebagai alat musik solo biasa
digunakan sebagai hiburan pribadi, maupun dihadapan sekelompok kecil pendengar yang tidak
memiliki konteks tertentu.

Kulcapi

Sebagai alat musik pribadi, Kulcapi memiliki komposisi-komposisi tersendiri yang berisi tentang
ceritera-cerita rakyat, seperti cerita  penganjak kuda sitajur, cerita perkatimbung beru tarigan,
tangis-tangis seberaya, tangis-tangis guru, dan beberapa cerita lainnya.

Masing-masing ceritera tersebut dimainkan melalui melodi Kulcapi. Jika didengarkan oleh
sekelompok orang sebagai hiburan, kadangkadang timbul pertanyaan dari pendengar tentang arti
melodi yang sedang dibawakan oleh  perKulcapi karena mereka tidak mengerti.  PerKulcapi
biasanya akan menjelaskan cerita dari melodi yang sedang ia mainkan sambil mengulangi melodi
tersebut, sehingga pendengar akan semakin mengerti dengan melodi-melodi yang dimainkan
perKulcapi.
7.3.2 Balobat
Balobat (block flute) sebagai instrumen solo juga merupakan alat musik yang sama dengan
balobat yang terdapat dalam  gendang balobat. Perbedaannya adalah konteks penyajian.  Balobat
sebagai instrumen solo digunakan sebagai hiburan pribadi ketika sedang mengembalakan ternak
di padang rumput, ketika sedang menjaga padi di sawah atau di ladang.

Balobat

7.3.3 Surdam
Surdam juga alat musik tiup yang terbuat dari bambu. Alat musik  surdam ditiup dari belakang
dengan ruas bambu yang terbuka (endblown flute). Secara konstruksi dan tehnik memainkan,
surdam memiliki kemiripan dengan saluang pada musik tradisional Minangkabau atau
shakuhachi  pada musik tradisional Jepang.
Tidak seperti balobat  yang secara sederhana dapat langsung berbunyi ketika ditiup, surdam
memiliki teknik khusus untuk meniupnya agar dapat berbunyi (lihat Lampiran Gambar L.3).
Tanpa menguasai teknik tersebut, surdam tidak akan berbunyi ketika ditiup. Alat musik  surdam
biasanya dimainkan pada malam hari ketika suasana sepi.
7.3.4 Embal-embal dan empi-empi
Kedua alat musik ini sebenarnya merupakan alat musik yang hanya biasa ditemukan pada sawah
atau ladang ketika padi sedang menguning. Keduanya dimainkan atau digunakan sebagai alat
musik hiburan pribadi di sawah atau di ladang ketika menjaga padi dari gangguan burung.
Embal-embal (aerophone, single reed) terbuat dari satu ruas bambu yang dibuat lobang-lobang
penghasil nada. Sebagai alat musik tiup, lidah (reed)  embal-embal dibuat dari badan alat musik
alat musik itu sendiri.

Empi-empi (aerophone, multiple reeds) terbuat dari batang padi yang telah mulai menguning.
Lidah (reed) dari  empi-empi  dibuat dari batang padi itu sendiri, dengan cara memecahkan
sebagian kecil dari salah satu ujung batang padi yang memiliki ruas. Akibat terpecahnya ruas
batang padi menjadi beberapa bagian (tidak terpisah) maka ketika ditiup bagian yang terpecah
tersebut akan menimbulkan bunyi.
Sebagian yang tidak terpecah kemudian dibuat lobang-lobang untuk menghasilkan nada yang
berbeda. Biasanya empi-empi mempunyai empat buah lobang nada. Untuk saat sekarang,
embal-embal dan  empi-empi sudah semakin jarang ditemukan/dimainkan oleh masyarakat Karo,
khususnya orang Karo  yang berada di daerah pedesaan.
7.3.5 Murbab, dan Genggong.
Alat musik  murbab atau  murdab merupakan alat musik gesek menyerupai  rebab  pada alat
musik tradisional Jawa atau biola pada musik klasik barat.  Murbab  terdiri dari dua senar,
sedangakan resonatornya terbuat dari tempurung kelapa. Alat musik murbab dahulu
dipergunakan sebagai alat musik solo dan dimainkan dihadapan beberapa orang sebagai hiburan.
Alat musik ini kemungkinan besar telah hilang dari kebudayaan musik Karo.
Genggong adalah alat musik yang terbuat dari besi, dan dibunyikan dengan menggunakan mulut
sebagai resonator. Selain sebagai resonator, mulut juga berfungsi untuk mengubah tinggi
rendahnya nada yang diinginkan. Pada waktu dulu, genggong   dipergunakan oleh  anak perana
(perjaka) untuk memanggil  singudanguda (gadis) pujaan hatinya pada malam hari agar keluar
dari rumah, sehingga mereka bisa memadu kasih asmara. Biasanya, seorang  anak perana
memainkan genggong dengan lagu tertentu yang telah dimengerti oleh kekasihnya, sehingga dia
akan keluar dari rumah. Genggong juga diperkirakan telah hilang dari kebudayaan musik Karo
saat ini.

Alat musik tifa

Nama  : Yudhanata Prawira 

Negara Indonesia terkenal dengan beragam suku daerah yang didalamnya terdapat segudang adat istiadat, dan seni budaya yang berbeda. Salah satu kekayaan bangsa yang akan kita bahas kali ini adalah kekayaan negeri kita dibidang alat musik yang bersal dari Indonesia bagian timur yaitu tifa. Alat musik tifa ini cukup unik, menarik dan merupakan ciri khas dari bagian negara kita yang pastinya tidak akan kita temui di negara manapun.
ads
Pengertian Alat Musik Tifa
alat musik tifa
Tifa adalah salah satu kekayaan alat musik tradisional yang berasal dari Indonesia bagian Timur yang menjadi identitas diri khususnya bagi Papua dan Maluku. Alat musik ini biasanya dimainkan oleh para laki-laki dewasa dengan cara dipukul menyerupai gendang.
Tifa yang berasal dari Papua terbuat dari kayu lenggua yang terkenal kuat dan besar. Kayu lenggua ini merupakan kayu dari khas daerah Papua yang dikenal memiliki kualitas nomor satu karena kayunya terkenal sangat tebal dan kuat.
Pertama-tama, kayu lenggua ini dibentuk menyerupai tabung dan memiliki tinggi yang berbeda-beda sesuai dengan jenis dan daerahnya. Selanjutnya Tifa akan diberikan lubang pada bagian dalam tabungnya agar menghasilkan suara yang nyaring saat ditabuh. Pada salah sisi ujung tifa biasanya akan ditutupi dengan kulit hewan rusa namun di beberapa daerah ada yang menggunakan kuliat biawak ataupun soa-soa yang sudah dikeringkan terlebih dahulu.
Kemudian kulit hewan tersebut akan dipanaskan hingga tertarik kencang. Semakin kering kulit hewan tersebut semakin kuat dan nyaring suara yang dihasilkan. Setelah itu ditempelkan juga biji damar agar suaranya semakin nyaring dan merdu. Namun karena bentuknya yang ramping dan tidak terlalu berat,  suara tifa ini terkesan lebih ringan tidak seperti gendang yang suaranya terkesan berat dan berdengung.
Sejarah Alat Musik Tifa
Sejarah tifa ini pun beragam tergantung persepsi tiap daerah masing-masing. Tetapi yang terkenal bagi masyarakat papua adalah tifa dari daerah Biak. Masyarakat pedalaman mayoritas tentunya masi erat dengan cerita-cerita mitos yang ada. Konon di suatu daerah di Biak hidup dua bersaudara laki-laki yang bernama Fraimun dan Sarenbeyar. Nama mereka pun memiliki arti yang membuat mereka sangat dekat, Fraimun yang atinya perangkat perang yang gagangnya dapat membunuh.
Sedangkan Saren artinya busur sedangkan Beyar adalah tari busur yang bermakna anak panah yang terpasang pada busur. Kedua Kakak Adik ini pergi dari desanya Maryendi karena desanya sudah tenggelam. Mereka berpetualang dan menemukan daerah Wampember yang berada di Biak Utara serta menetap di sana. Ketika mereka sedang berburu di malam hari, mereka menemukan pohon opsur. Opsur sendiri artinya adalah pohon atau kayu yang mengeluarkan suara di tengah hutan. Karena sudah malam, mereka memutuskan untuk pulang ke rumah dan kembali esok hari.
Keesokan harinya mereka kembali mendatangi pohon tersebut. Pohon itu ditinggali oleh lebah madu, soa-soa serta biawak dan binatang-binatang kecil lainnya. Mereka penasaran dengan pohon tersebut dan akhirnya memutuskan untuk menebangnya. Setelah itu mereka mengeruk dan mengosongkan bagian tengah kayu sehingga menyerupai pipa dengan peralatan seadanya yaitu memakai nibong.
Nibong adalah sebuah besi panjang yang ujungnya sangat tajam. Tidak lupa mereka membakar bagian tengah kayu tersebut agar lebih apik. Saat ingin menutupi salah satu isinya mereka berniat untuk memakai kulit paha sang Kakak. Setelah dipertimbangkan, rasanya akan sangat menyakitkan bagi sang Kakak. Akhirnya setelah berunding, mereka memutuskan untuk memakai kulit soa-soa.
Penangkapan soa-soa ini pun tidak sembarangan. Mereka memanggil hewan tersebut “Hei, napiri Bo..” secara terus menerus menggunakan bahasa Biak ini. Akhirnya soa-soa ini pun mengerti dan seolah-olah mau menyerahkan dirinya. Akhirnya mereka menguliti soa-soa ini dan dipakai untuk menutupi salah satu sisi kayu yang berbentuk pipa itu. Hasil yang mereka kerjakan tersebut adalah alat musik seperti yang kita kenal sekarang sebagai alat musik tifa.

Tifa sebagai Alat Musik Ritual

Dalam setiap acara-acara ritual adat hanya para pria dewasa yang diperkenankan untuk memainkan tifa maupun alat musik lainnya sebagai musik ritual. Perempuan akan sangat dilarang dan hal ini sudah menjadi amanat warisan turun-temurun. Tentu saja hal ini sangat mereka pegang dan turuti sebagai cara untuk menghormati leluhur mereka.
Bagi masyarakat pedalaman yang masih kental dengan ritual-ritual adat seperti ini, hal-hal seperti emansipasi wanita yang menjunjung kesejajaran antara pria dan wanita tidak akan kita dapatkan di sini. Bagi mereka, pria merupakan sosok pemimpin yang kuat dan pantas untuk memainkan musik ritual maupun melaksanakan ritual tersebut yang merupakan budaya dan warisan turun-temurun dari nenek moyang mereka.
Hal ini berbeda dengan perkembangan zaman yang ada di kota-kota besar. Musik-musik modern seperti drum, bass, piano, terompet, gitar, saxophone dan masih banyak lainnya bisa dimainkan oleh siapa saja dimana saja dan kapan saja sesuai kebutuhan dan keinginan si pecinta musik tersebut. Namun tidak demikian dengan alat musik tradisional salah satunya adalah tifa.
Alat musik tifa ini tidak bisa dimainkan oleh semua orang namun harus mengikuti serangkaian prosedur agar mendapatkan izin dari tetua maupun masyarakat setempat. Kecuali, jika tifa dimainkan sebagai alat musik untuk mengiringi acara pertunjukan musik. Tifa adalah alat musik wajib yang digunakan bahkan saat diketahui ada seorang anak dalam kandungan, lahir, dewasa, maupun meninggal dunia.



 Alat Musik Tifa Bagi Papua

tifa papua
Papua ! ya, tifa merupakan salah satu alat musik yang terkenal dari daerah Papua dan Maluku. Bagi suku-suku bangsa yang mendiami Maluku khususnya Papua yaitu suku Asmat, musik sudah seperti oksigen yang mereka butuhkan setiap hari untuk bernapas.
Bukan hanya bagi para suku Asmat, tifa ini juga sudah seperti identitas bagi suku mereka seperti suku Malin Anim, Biak, Sentani, Timenabuan dan suku-suku lainnya di Papua. Penamaan tifa ini juga berbeda di tiap-tiap suku. Bagi suku Malin Anim tifa dikenal dengan nama kandara, Biak terkenal dengan sirep atau sandio, Sentani disebut dengan Wachu, di Timenabuan tifa dinamai dengan kalin kla sedangkan di suku asmat sendiri tifa dikenal dengan eme.
Papua merupakan salah satu daerah yang kental dengan acara-acara ritual yang akan disandingkan dengan musik ritual sebagai pendukungnya. Irama yang dimainkan pastinya akan terasa sangat sakral dan akan menjadi prioritas utama di setiap kegiatan yang mereka gelar. Tifa merupakan salah satu alat musik yang wajib ada dan perannya akan cukup mendominasi. Hal ini dikarenakan tifa menentukan ritme dan menghasilkan tabuhan-tabuhan yang membuat ritual yang ada semakin khusuk.

Alat Musik Tifa bagi Maluku

tifa papua
Tifa merupakan alat musik pukul yang punya sebutan sama, baik di daerah Papua maupun Maluku. Namun keduanya memiliki bentuk yang cukup berbeda. Tifa dari Papua memiliki pegangan di sampingnya dan berbentuk lebih ramping.
Tifa asli Maluku hanya berbentuk tabung biasa dan tidak memiliki pegangan. Alat musik yang khas ini memiliki ukiran-ukiran cantik sebagai penghiasnya dan menjadi khas daerah masing-masing. Namun bukan hanya sekedar hiasan, ukiran ini juga mengandung cerita kehidupan dan ungkapan syukur dari si pembuat tifa.
Alat musik tifa ini menjadi salah satu alat musik yang mengiringi upacara-upacara adat, tari-tarian tradisional dan tarian perang. Contohnya seperti tari Cakalele yang tariannya menggambarkan suasana peperangan masyarakat Maluku zaman dahulu. Tifa merupakan alat musik wajib untuk mengiringi tarian tersebut.
Tifa yang memiliki sebutan sama di Papua dan Maluku justru bukanlah menjadi satu-satunya sebutan untuk alat musik berbentuk tabung ini di berbagai bagian Maluku. Contohnya pada bagian Maluku tengah, tifa disebut sebagai tihal atau tahito. Modelnya pun memiliki bentuk yang berbeda.
Tihal atau tahito ini memiliki bentuk seperti gendang yang bulat pendek. Pada bagian pinggirnya terdapat anyaman tali rotan dengan beberapa kayu kecil yang disebut badeng diikat mengelilinginya. Bagian sisi yang dipukul juga umumnya memakai kulit kambing yang dikeringkan sebagai alas untuk dipukul. Bagian sisi yang lain akan dibiarkan terbuka saja.
Tihal atau tahito ini biasanya dimainkan dengan cara dipukul menggunakan tangan, namun bisa juga dimainkan dengan alat seperti tongkat pemukul. Tongkat ini terbuat dari pelepah pohon kelapa, rotan, dan gaba-gaba yang berbahan dasar pelepah dahan sagu dengan panjang sekitar 60-100 cm. Untuk tifa yang bersal dari Maluku, khususnya Maluku tenggara, badan tifa sendiri terbuat dari pohon sukun atau pohon eh. Baik bentuk dan ukurannya pun dibuat beragam. Sedangkan di pulau Aru, tifa ini biasanya dikenal dengan nama Titir.

Tifa Totobuang dan Jenis-Jenis Tifa

https://ilmuseni.com/wp-content/uploads/2017/07/tifa_totobuang_1290-300x100.jpg
Konon sebelum mengalami sentuhan modernisasi, tifa merupakan satu-satunya alat yang digunakan untuk pengantar perang. Sampai sekarang hal ini masi dibudidayakan dengan ilustrasi berupa tarian perang dengan diiringi tifa. Begitu banyaknya pengaruh modernisasi untuk membuat segala sesuatunya agar terlihat menarik.
Tetapi ada satu jenis musik yang sampai sekarang masih sangat asli dan tidak tercemar pengaruh dari luar yaitu Tifa Totobuang. Musik ini banyak terdapat di daerah yang mayoritasnya beragama kristen. Namun tifa totobuang ini juga dipakai untuk disandingkan dengan musik sawat yang dimainkan oleh daerah yang mayoritasnya adalah muslim
Permainan musik totobuang ini tetap didominasi oleh beberapa jenis tifa yang masing-masing memiliki fungsi masing-masing. Tifa jekir, tifa dasar, tifa potong, tifa jekir potong dan tifa bass serta beberapa alat musik lain seperti gong-gong kecil yang ditaruh di atas meja inilah yang saling melengkapi.
Jenis-jenis tifa diatas sama-sama dimainkan dengan cara dipukul namun warna suara yang dihasilkan saat dimainkan yang menjadi pembedanya. Sehingga jika jenis-jenis tifa ini dimainkan secara bersamaan, ritmenya harus disesuaikan. Warna suaranya yang berbeda akan menghasilkan satu nada suara menghentak-hentak yang khas dan enak didengar. Setiap tabuhan diharapkan akan menggambarkan keindahan musik budaya tanah air kita, Indonesia.
Berkat banyaknya pecinta seni yang masih peduli akan warisan budaya kita, di era modern sekarang ini kita masih bisa melihat kekayaan bangsa kita. Melalui pertunjukan-pertunjukn seni yang ada diharapkan kita dapat mulai menghargai budaya dalam negeri.


Sekian pembahasan kita kali ini mengenai alat musik tifa yang merupakan salah satu alat musik tradisional yang bangsa kita miliki. Semoga artikel ini bermanfaat untuk menambah pengetahuan setiap kita maupun generasi penerus bangsa sehingga mempunyai semangat untuk semakin terus melestarikan budaya dan mengharumkan negeri kita sampai ke manca negara

Musik Daerah Sumatera Utara (Gondang Batak)



Alpin syahbana 
            Asal muasal Gondang Batak sudah ada sejak 500 tahun lalu di Mandailing daerah Batak. Biasanya, alat musik ini dimainkan bersamaan dengan tari tor-tor. Pada suku Mandailing, gondang dan tari tor-tor digelar untuk perayaan, hajatan dan penyambutan tamu yang dihormati. Pada masa kolonial, kesenian ini menjadi hiburan para raja dan sebagai bentuk perlawanan terhadap serdadu Belanda. Ketika gondang dibunyikan, masyarakat diminta mengungsi. Suku Mandailing pun berbeda-beda dalam menyebut alat musik gondang. Mandailing yang bermukim di wilayah Angkola, Sidimpuan, Tapanuli Selatan, mengenal dengan sebutan gondang 2. Sebelumnya disebut gondang 7 di tiga wilayah itu. Hanya di Mandailing Natal yang sebutannya tetap sampai sekarang, gondang 9. Adanya perubahan sebutan gondang 7 menjadi gondang 2 karena kesenian budaya ini sempat dilarang pada masa penjajahan. Gondang juga berat untuk dibawa bila mengungsi.
            Ada pun jenis-jenis alat musik instrumental gondang, di antaranya yaitu taganing, gordang, sarune, ogung aloan, ogung ihutan atau ogung pangalusi, ogung panggora atau ogung panonggahi, ogung doal, hesek, hasapi, sulim, garantung, tulila dll. Sama seperti alat musik pada umumnya, masing-masing instrumen gondang memiliki peran berbeda-beda dalam menciptakan sebuah komposisi musik. Komposisi yang ditemukan dalam jenis musik tersebut misalnya komposisi berjudul Gondang Mula-mula, Gondang Haroharo dsb dan alat musik “kendang”. Gondang Sabangunan terdiri dari sarune bolon (sejenis alat tiup obo), taganing (perlengkapan terdiri dari lima kendang yang dikunci punya peran melodis dengan sarune tersebut), gordang (sebuah kendang besar yang menonjolkan irama ritme),empat gong yang disebut agung dan hesek sebuah alat perkusi (biasanya sebuah botol yang dipukul dengan batang kayu atau logam) yang membantu irama.
            Adapun instrumen tersebut yaitu:
·         Seruling (salonat, salodap, tarafat dan sordam).
·         Gendang (tataganing atau gondang).
·         Kulcapi, hapetan, hasapi dan arbab yang dapat dilaras.
·         Tanggetong atau nungneng.
·         Gerantung (semacam gambang) dan gong.
Ciri Khas: Jenis musik gondang atau musik tataganing yang membawa penanaman kesadaran musik diatonis yang harmonis, yang mendapat pengaruh dari gereja.
  1. Notasi
  1. Pentatonik
Ditinjau dari kacamata etnomusikologi, gondang merupakan salah satu jenis musik tradisi Batak Toba. Namun gondang juga dapat    diterjemahkan sebagai komposisi yang ditemukan dalam jenis musik tersebut. Ada dua ensembel musik gondang, yaitu Gondang Sebangunan yang biasanya dimainkan di luar rumah, di halaman rumah dan Gondang Hasapi yang biasanya dimainkan dalam rumah.

Gondang Sabangunan terdiri dari sarune bolon (sejenis alat tiup), taganing (perlengkapan terdiri dari lima kendang yang dikunci punya peran melodis dengan sarune), gondang (sebuah kendang besar yang menonjolkan irama ritme), empat gong yang disebut ogung dan hesek sebuah alat perkusi (biasanya sebuah botol yang dipukul dengan batang kayu atau logam) yang membantu irama.

Kamis, 07 Desember 2017

Alat Musik Tifa : Pengertian, Sejarah, Fungsi dan Jenisnya

NAMA : ZUMA SARI

NIM      : 2173342041

Negara Indonesia terkenal dengan beragam suku daerah yang didalamnya terdapat segudang adat istiadat, dan seni budaya yang berbeda. Salah satu kekayaan bangsa yang akan kita bahas kali ini adalah kekayaan negeri kita dibidang alat musik yang bersal dari Indonesia bagian timur yaitu tifa. Alat musik tifa ini cukup unik, menarik dan merupakan ciri khas dari bagian negara kita yang pastinya tidak akan kita temui di negara manapun.
ads
Pengertian Alat Musik Tifa
alat musik tifa
Tifa adalah salah satu kekayaan alat musik tradisional yang berasal dari Indonesia bagian Timur yang menjadi identitas diri khususnya bagi Papua dan Maluku. Alat musik ini biasanya dimainkan oleh para laki-laki dewasa dengan cara dipukul menyerupai gendang.
Tifa yang berasal dari Papua terbuat dari kayu lenggua yang terkenal kuat dan besar. Kayu lenggua ini merupakan kayu dari khas daerah Papua yang dikenal memiliki kualitas nomor satu karena kayunya terkenal sangat tebal dan kuat.
Pertama-tama, kayu lenggua ini dibentuk menyerupai tabung dan memiliki tinggi yang berbeda-beda sesuai dengan jenis dan daerahnya. Selanjutnya Tifa akan diberikan lubang pada bagian dalam tabungnya agar menghasilkan suara yang nyaring saat ditabuh. Pada salah sisi ujung tifa biasanya akan ditutupi dengan kulit hewan rusa namun di beberapa daerah ada yang menggunakan kuliat biawak ataupun soa-soa yang sudah dikeringkan terlebih dahulu.
Kemudian kulit hewan tersebut akan dipanaskan hingga tertarik kencang. Semakin kering kulit hewan tersebut semakin kuat dan nyaring suara yang dihasilkan. Setelah itu ditempelkan juga biji damar agar suaranya semakin nyaring dan merdu. Namun karena bentuknya yang ramping dan tidak terlalu berat,  suara tifa ini terkesan lebih ringan tidak seperti gendang yang suaranya terkesan berat dan berdengung.
Sejarah Alat Musik Tifa
Sejarah tifa ini pun beragam tergantung persepsi tiap daerah masing-masing. Tetapi yang terkenal bagi masyarakat papua adalah tifa dari daerah Biak. Masyarakat pedalaman mayoritas tentunya masi erat dengan cerita-cerita mitos yang ada. Konon di suatu daerah di Biak hidup dua bersaudara laki-laki yang bernama Fraimun dan Sarenbeyar. Nama mereka pun memiliki arti yang membuat mereka sangat dekat, Fraimun yang atinya perangkat perang yang gagangnya dapat membunuh.
Sedangkan Saren artinya busur sedangkan Beyar adalah tari busur yang bermakna anak panah yang terpasang pada busur. Kedua Kakak Adik ini pergi dari desanya Maryendi karena desanya sudah tenggelam. Mereka berpetualang dan menemukan daerah Wampember yang berada di Biak Utara serta menetap di sana. Ketika mereka sedang berburu di malam hari, mereka menemukan pohon opsur. Opsur sendiri artinya adalah pohon atau kayu yang mengeluarkan suara di tengah hutan. Karena sudah malam, mereka memutuskan untuk pulang ke rumah dan kembali esok hari.
Keesokan harinya mereka kembali mendatangi pohon tersebut. Pohon itu ditinggali oleh lebah madu, soa-soa serta biawak dan binatang-binatang kecil lainnya. Mereka penasaran dengan pohon tersebut dan akhirnya memutuskan untuk menebangnya. Setelah itu mereka mengeruk dan mengosongkan bagian tengah kayu sehingga menyerupai pipa dengan peralatan seadanya yaitu memakai nibong.
Nibong adalah sebuah besi panjang yang ujungnya sangat tajam. Tidak lupa mereka membakar bagian tengah kayu tersebut agar lebih apik. Saat ingin menutupi salah satu isinya mereka berniat untuk memakai kulit paha sang Kakak. Setelah dipertimbangkan, rasanya akan sangat menyakitkan bagi sang Kakak. Akhirnya setelah berunding, mereka memutuskan untuk memakai kulit soa-soa.
Penangkapan soa-soa ini pun tidak sembarangan. Mereka memanggil hewan tersebut “Hei, napiri Bo..” secara terus menerus menggunakan bahasa Biak ini. Akhirnya soa-soa ini pun mengerti dan seolah-olah mau menyerahkan dirinya. Akhirnya mereka menguliti soa-soa ini dan dipakai untuk menutupi salah satu sisi kayu yang berbentuk pipa itu. Hasil yang mereka kerjakan tersebut adalah alat musik seperti yang kita kenal sekarang sebagai alat musik tifa.

Tifa sebagai Alat Musik Ritual

Dalam setiap acara-acara ritual adat hanya para pria dewasa yang diperkenankan untuk memainkan tifa maupun alat musik lainnya sebagai musik ritual. Perempuan akan sangat dilarang dan hal ini sudah menjadi amanat warisan turun-temurun. Tentu saja hal ini sangat mereka pegang dan turuti sebagai cara untuk menghormati leluhur mereka.
Bagi masyarakat pedalaman yang masih kental dengan ritual-ritual adat seperti ini, hal-hal seperti emansipasi wanita yang menjunjung kesejajaran antara pria dan wanita tidak akan kita dapatkan di sini. Bagi mereka, pria merupakan sosok pemimpin yang kuat dan pantas untuk memainkan musik ritual maupun melaksanakan ritual tersebut yang merupakan budaya dan warisan turun-temurun dari nenek moyang mereka.
Hal ini berbeda dengan perkembangan zaman yang ada di kota-kota besar. Musik-musik modern seperti drum, bass, piano, terompet, gitar, saxophone dan masih banyak lainnya bisa dimainkan oleh siapa saja dimana saja dan kapan saja sesuai kebutuhan dan keinginan si pecinta musik tersebut. Namun tidak demikian dengan alat musik tradisional salah satunya adalah tifa.
Alat musik tifa ini tidak bisa dimainkan oleh semua orang namun harus mengikuti serangkaian prosedur agar mendapatkan izin dari tetua maupun masyarakat setempat. Kecuali, jika tifa dimainkan sebagai alat musik untuk mengiringi acara pertunjukan musik. Tifa adalah alat musik wajib yang digunakan bahkan saat diketahui ada seorang anak dalam kandungan, lahir, dewasa, maupun meninggal dunia.



Alat Musik Tifa Bagi Papua

tifa papua
Papua ! ya, tifa merupakan salah satu alat musik yang terkenal dari daerah Papua dan Maluku. Bagi suku-suku bangsa yang mendiami Maluku khususnya Papua yaitu suku Asmat, musik sudah seperti oksigen yang mereka butuhkan setiap hari untuk bernapas.
Bukan hanya bagi para suku Asmat, tifa ini juga sudah seperti identitas bagi suku mereka seperti suku Malin Anim, Biak, Sentani, Timenabuan dan suku-suku lainnya di Papua. Penamaan tifa ini juga berbeda di tiap-tiap suku. Bagi suku Malin Anim tifa dikenal dengan nama kandara, Biak terkenal dengan sirep atau sandio, Sentani disebut dengan Wachu, di Timenabuan tifa dinamai dengan kalin kla sedangkan di suku asmat sendiri tifa dikenal dengan eme.
Papua merupakan salah satu daerah yang kental dengan acara-acara ritual yang akan disandingkan dengan musik ritual sebagai pendukungnya. Irama yang dimainkan pastinya akan terasa sangat sakral dan akan menjadi prioritas utama di setiap kegiatan yang mereka gelar. Tifa merupakan salah satu alat musik yang wajib ada dan perannya akan cukup mendominasi. Hal ini dikarenakan tifa menentukan ritme dan menghasilkan tabuhan-tabuhan yang membuat ritual yang ada semakin khusuk.

Alat Musik Tifa bagi Maluku

tifa papua
Tifa merupakan alat musik pukul yang punya sebutan sama, baik di daerah Papua maupun Maluku. Namun keduanya memiliki bentuk yang cukup berbeda. Tifa dari Papua memiliki pegangan di sampingnya dan berbentuk lebih ramping.
Tifa asli Maluku hanya berbentuk tabung biasa dan tidak memiliki pegangan. Alat musik yang khas ini memiliki ukiran-ukiran cantik sebagai penghiasnya dan menjadi khas daerah masing-masing. Namun bukan hanya sekedar hiasan, ukiran ini juga mengandung cerita kehidupan dan ungkapan syukur dari si pembuat tifa.
Alat musik tifa ini menjadi salah satu alat musik yang mengiringi upacara-upacara adat, tari-tarian tradisional dan tarian perang. Contohnya seperti tari Cakalele yang tariannya menggambarkan suasana peperangan masyarakat Maluku zaman dahulu. Tifa merupakan alat musik wajib untuk mengiringi tarian tersebut.
Tifa yang memiliki sebutan sama di Papua dan Maluku justru bukanlah menjadi satu-satunya sebutan untuk alat musik berbentuk tabung ini di berbagai bagian Maluku. Contohnya pada bagian Maluku tengah, tifa disebut sebagai tihal atau tahito. Modelnya pun memiliki bentuk yang berbeda.
Tihal atau tahito ini memiliki bentuk seperti gendang yang bulat pendek. Pada bagian pinggirnya terdapat anyaman tali rotan dengan beberapa kayu kecil yang disebut badeng diikat mengelilinginya. Bagian sisi yang dipukul juga umumnya memakai kulit kambing yang dikeringkan sebagai alas untuk dipukul. Bagian sisi yang lain akan dibiarkan terbuka saja.
Tihal atau tahito ini biasanya dimainkan dengan cara dipukul menggunakan tangan, namun bisa juga dimainkan dengan alat seperti tongkat pemukul. Tongkat ini terbuat dari pelepah pohon kelapa, rotan, dan gaba-gaba yang berbahan dasar pelepah dahan sagu dengan panjang sekitar 60-100 cm. Untuk tifa yang bersal dari Maluku, khususnya Maluku tenggara, badan tifa sendiri terbuat dari pohon sukun atau pohon eh. Baik bentuk dan ukurannya pun dibuat beragam. Sedangkan di pulau Aru, tifa ini biasanya dikenal dengan nama Titir.

Tifa Totobuang dan Jenis-Jenis Tifa

https://ilmuseni.com/wp-content/uploads/2017/07/tifa_totobuang_1290-300x100.jpg
Konon sebelum mengalami sentuhan modernisasi, tifa merupakan satu-satunya alat yang digunakan untuk pengantar perang. Sampai sekarang hal ini masi dibudidayakan dengan ilustrasi berupa tarian perang dengan diiringi tifa. Begitu banyaknya pengaruh modernisasi untuk membuat segala sesuatunya agar terlihat menarik.
Tetapi ada satu jenis musik yang sampai sekarang masih sangat asli dan tidak tercemar pengaruh dari luar yaitu Tifa Totobuang. Musik ini banyak terdapat di daerah yang mayoritasnya beragama kristen. Namun tifa totobuang ini juga dipakai untuk disandingkan dengan musik sawat yang dimainkan oleh daerah yang mayoritasnya adalah muslim
Permainan musik totobuang ini tetap didominasi oleh beberapa jenis tifa yang masing-masing memiliki fungsi masing-masing. Tifa jekir, tifa dasar, tifa potong, tifa jekir potong dan tifa bass serta beberapa alat musik lain seperti gong-gong kecil yang ditaruh di atas meja inilah yang saling melengkapi.
Jenis-jenis tifa diatas sama-sama dimainkan dengan cara dipukul namun warna suara yang dihasilkan saat dimainkan yang menjadi pembedanya. Sehingga jika jenis-jenis tifa ini dimainkan secara bersamaan, ritmenya harus disesuaikan. Warna suaranya yang berbeda akan menghasilkan satu nada suara menghentak-hentak yang khas dan enak didengar. Setiap tabuhan diharapkan akan menggambarkan keindahan musik budaya tanah air kita, Indonesia.
Berkat banyaknya pecinta seni yang masih peduli akan warisan budaya kita, di era modern sekarang ini kita masih bisa melihat kekayaan bangsa kita. Melalui pertunjukan-pertunjukn seni yang ada diharapkan kita dapat mulai menghargai budaya dalam negeri.
Sekian pembahasan kita kali ini mengenai alat musik tifa yang merupakan salah satu alat musik tradisional yang bangsa kita miliki. Semoga artikel ini bermanfaat untuk menambah pengetahuan setiap kita maupun generasi penerus bangsa sehingga mempunyai semangat untuk semakin terus melestarikan budaya dan mengharumkan negeri kita sampai ke manca negara