Sabtu, 02 Desember 2017

PENELUSURAN SEJARAH INSTRUMENT AKORDEON DALAM ANSAMBEL MELAYU DI KOTA PONTIANAK

RUT KLARA PANESA RUMAMPEA
NIM : 2173142032


Kalimantan Barat memiliki empat wilayah bagian antara lain: (1) bagian timur
meliputi Kabupaten Kapuas Hulu, Kabupaten Melawi, Kabupaten Sintang,
Kabupaten Sekadau, dan Kabupaten Sanggau, (2) bagian barat meliputi Kota
Pontianak, Kabupaten Pontianak, dan Kabupaten Landak, (3) bagian selatan meliputi
Kabupaten Ketapang, Kabupaten Kayong Utara dan Kabupaten Kubu Raya, (4) bagian
utara meliputi Kota Singkawang, Kabupaten Sambas, dan Kabupaten Bengkayang.
Pada masing-masing wilayah tersebut terdapat banyak kelompok etnik, antara lain
yaitu Dayak, Melayu, Cina, Madura, Bugis, Jawa, Batak dan Sunda. Tiga di antaranya
merupakan kelompok etnik terbesar yaitu Dayak, Melayu, dan Cina.
Kelompok etnik Dayak pada umumnya mendiami daerah pedalaman
Kalimantan Barat. Terbagi lagi ke dalam banyak subkelompok etnik, seperti Dayak
Kanayatn, Dayak Iban, Dayak Taman, dan lain-lain (Akil dalam florus, 2010: 166).
Kelompok etnik Cina terdiri dari berbagai subkelompok, di antaranya Hakka (Khek)
dan Tewcu (Hoklo). Orang-orang Khek pada umumnya mendiami Kota Singkawang
dan sekitarnya, sedangkan orang Hoklo mendiami Pontianak dan wilayah sekitarnya
(Akil dalam Florus, 2010: 167). Satu di antara kesenian tradisi yang berasal dari
daratan Cina yang dibawa oleh imigran Tionghoa dalam perantauan nusantara, berupa
kesenian Tarian Singa yang kemudian merakyat dalam budaya lokal sehingga disebut
Barongsai (Fat, 2008: 23).
Satu di antara etnik yang bermukim di sebagian besar Malaysia, pesisir timur
Sumatera, sekeliling pesisir Kalimantan, Thailand Selatan, serta pulau-pulau kecil yang
terbentang di sepanjang Selat Malaka dan Selat Karimata yaitu etnik Melayu. Jumlah
etnik Melayu di Indonesia sekitar 15 persen dari seluruh populasi, yang sebagian besar
mendiami provinsi Sumatera Utara, Riau, Kepulauan Riau, Jambi, Sumatera Selatan,
Bangka Belitung, dan Kalimantan Barat. Kelompok etnik Melayu yang ada di
Kalimantan Barat terdiri dari berbagai subkelompok, di antaranya Melayu Pontianak,
Melayu Sambas, Melayu Ketapang, Melayu Landak, dan sebagainya.
Pontianak merupakan satu di antara wilayah provinsi yang memiliki tipikal kota
air. Pontianak disebut sebagai kota air karena keberadaannya di sepanjang tepian
Sungai Kapuas sehingga memiliki kebudayaan sungai yang sangat kuat. Hal ini
dibuktikan oleh sejarah terbentuknya Kota Pontianak yang bermula dari tepian Sungai
Kapuas, yaitu berdirinya pemerintahan atau kerajaan Keraton Kadariyah yang terletak
di tepi Sungai Kapuas. Mata pencaharian, jalur perdagangan, kebudayaan, adat istiadat,
ataupun kesenian masyarakat Pontianak sebagian besar dilakukan di Sungai Kapuas.
Melalui Sungai Kapuas, interaksi sosial mudah dilakukan bagi beberapa
pendatang dari Pulau Sumatera baik interakasi antarkebudayaan maupun interaksi
antarkesenian daerah masing-masing. Kebudayaan etnik Melayu di Kota Pontianak dan
Pulau Sumatera (Tanjung Pinang, Tambelan, dan Riau) memiliki persamaan karena
pengaruh syariat Islam. Meskipun demikian tidak secara otomatis adat budaya Melayu
identik dengan syariat Islam. Pada bidang seni musik, grup musik dari Pulau Sumatera
datang ke Kota Pontianak membawa dan mengenalkan kesenian mereka kepada
masyarakat Kalimantan Barat khususnya Kota Pontianak. Pertunjukan seni yang
mereka tampilkan menggunakan alat musik tradisional dan alat musik serapan yang
kemudian diadaptasi dan diambil untuk dijadikan bagian budaya Melayu dalam

permainan Ansambel Musik Melayu. Penelitian ini dilakukan di Kota Pontianakdengan alasan karena
masih ada informan yang mengetahui mengenai sejarah musik
etnik Melayu yang disebarkan melalui grup kesenian dari Pulau Sumatera berupa
instrumen akordeon. Alat musik sekarang ini sudah berkembang dengan pesat. Bahkan
sangat modern tetapi, masih banyak orang belum mengetahui cikal-bakalnya. Alat
musik tradisional merupakan kekayaan bangsa yang bukan hanya patut dilestarikan,
melainkan dikembangkan menjadi alat yang sangat modern.
Effendi (dalam Tribun, 2012: 1) ketua MABM (Majelis Adat Budaya Melayu)
memaparkan tentang masyarakat Melayu, khususnya di bidang seni, memang sangat
terbuka. Hal ini, menjadi ciri khas budaya yang bersifat dinamis. Selain itu,
diungkapkannya bahwa hanya kelompok masyarakat yang terbuka, yang mampu
mengembangkan peradaban. Satu di antara ciri masyarakat yang mampu
mengembangkan peradaban, yaitu dengan memainkan alat musik yang kemudian
diadaptasi dan diambil untuk dijadikan bagian budaya Melayu. Instrumen yang
digunakan untuk mengiringi tarian atau lagu-lagu tradisional Melayu di Kota Pontianak
biasanya menggunakan instrumen atau alat musik tahar, gambus, rebana, biola, beduk,
beruas, suling, gong (tawak), dan akordeon. Kesenian pada etnik Melayu di Kota
Pontianak sebagian besar menggunakan instrumen akordeon dalam pertunjukan
kesenian Melayu, maupun kompetisi kesenian kreasi etnik Melayu. Beberapa bentuk
Ansambel Musik Melayu dapat dilihat di sanggar-sanggar Melayu dan lembaga
pendidikan yang mempelajari tentang musik Melayu dengan menggunakan vokal, alatalat
musik yang terdiri dari seperangkat instrumen yang digunakan etnik Melayu,
senandung Melayu, syair-syair berbahasa Melayu, dan lain sebagainya.Akordeon
merupakan sebuah alat musik dari negara di Eropa yang digunakan dalam Ansambel
Musik Melayu di Kota Pontianak.
Penelitian ini didasari oleh rasa keingintahuan peneliti terhadap sejarah dan
perkembangan alat musik akordeon dalam Ansambel Musik Melayu di Kota
Pontianak. Sebagian besar masyarakat etnik Melayu beranggapan akordeon sudah
menjadi alat musik etnik Melayu dan permainan alat musik Melayu harus
menggunakan instrumen akordeon. Akan tetapi, tidak tersedianya informasi dalam
bentuk buku yang menjelaskan bahwa akordeon bagian dari Ansambel Musik Melayu
di Kota Pontianak dan belum ada pembuktian yang memperkuat pernyataan tersebut.
Belum begitu banyak penelitian tentang intrumen akordeon dalam Ansambel Musik
Melayu di Kota Pontianak. Akordeon merupakan alat musik yang bukan berasal dari
etnik Melayu, melainkan akordeon merupakan instrumen serapan yang terdapat pada
etnik Melayu dan mempunyai peran yang penting dalam Ansambel Musik Melayu.
Selain itu, penelitian ini berusaha untuk mendokumentasikan akordeon sebagai bahan
rujukan bagi masyarakat yang ingin mengetahui sejarah akordeon.
Orkes menurut seniman etnik Melayu adalah kelompok pemain musik yang
bermain lebih kurang 10 orang. Satu di antara tokoh yang aktif pada masa itu
bernama Syarif Usman Al-Idrus. Syarif Usman Al-Idrus adalah orang yang
mengajarkan cara bermain instrumen akordeon kepada Muhammad Thaha yang
menjadi Narasumber dalam penelitian ini. Syarif Usman Al-Idrus memimpin sebuah
orkes Melayu yang bernama Bintang Timur, dan beliau juga aktif dalam musik
drumben Urril dan drumben Kodam pada masa itu). Kunjungan beberapa grup
kesenian dari luar Pulau Kalimantan membawa instrumen akordeon yang dimainkan
dalam bentuk Ansambel Musik Melayu di Kota Pontianak akordeon yang
dimainkan beraneka ragam ukuran. Beberapa seniman menggunakan akordeon

dengan 32 bass hingga 120 bass, bergantung pada postur tinggi badan.
Akordeon diserap dan dimainkan oleh seniman Kalimantan Barat dalam
permainan Ansambel Musik Melayu. Ketertarikan orkes Melayu pada masa itu
melihat alat musik akordeon yang unik dengan cara permainan menggendong
akordeon dan mendorong ataupun menarik pompa angin yang menghasilkan suara
akordeon saat tangan kanan menekan tuts-tuts pada badan akordeon tersebut.
Sebelum akordeon menjadi bagian dalam Ansambel Musik Melayu, sebuah alat
musik yang digunakan dan memiliki peran yang sama dengan akordeon yaitu
harmonium. Harmonium adalah alat musik yang berasal dari negara India yang
dikenal dalam Ansambel Musik Melayu dengan sebutan bernian.
Peran instrumen akordeon dan bernian dalam Ansambel Musik Melayu sama,
yaitu sebagai pemimpin dalam Ansambel Musik Melayu. Pemain instrumen
akordeon dan bernian dalam Ansambel Musik Melayu biasanya dipercaya sebagai
pemimpin kelompok orkes Melayu. Pada masa itu bernian dan akordeon dalam
Ansambel Musik Melayu biasa digunakan satu di antara instrumen tersebut dan
biasa juga dimainkan kedua-duanya secara bersamaan dalam Ansambel Musik
Melayu baik dalam bentuk instrumentalia maupun pengiring lagu-lagu Melayu
akordeon merupakan alat musik yang berasal dari Eropa yang diserap dan menjadi
bagian dalam Ansambel Musik Melayu. Berikut paparan mengenai peran instrumen
akordeon dalam Ansambel Musik Melayu di Kota Pontianak pada tahun 1961--
1980. Peneliti membagi menjadi empat kelompok waktu yaitu: (1) tahun 1961--
1965, (2) tahun 1966-- 1970, (3) tahun 1971-- 1975, dan (4) 1976-- 1980.
A. Tahun 1961-- 1965
Masuknya instrumen akordeon di Kalimantan Barat menurut beberapa
sumber yaitu diperkirakan pada tahun 1960-an akordeon yang dibawa oleh grup
kesenian dari Tanjung Pinang, Riau, dan Tambelan melalui jalur air (sungai dan
laut) dengan menggunakan kapal. Instrumen akordeon masuk dan dipelajari oleh
pihak keraton, sedangkan seniman etnik Melayu yang ingin belajar bermain
akordeon dapat belajar dengan seniman keraton kadariah. Seperti Muhammad
Thaha yang belajar bermain
Akordeon dengan seorang seniman keraton yang bernama Syarif Usman Al-
Idrus yang akrab dipanggil Wan Mek. Syarif Usman Al-Idrus adalah seniman yang
lahir sebelum negara Indonesia merdeka yaitu pada tahun 1923. Beliau mahir dalam
bermain musik dan membaca not balok. Beliau dapat membaca notasi balok yang
diajarkan oleh Abdul Madjid dan Bakir (seniman etnik Melayu yang tinggal
Yokyakarta) Orkes Melayu yang dipimpin bernama orkes Bintang Timur. Nama
orkes tersebut dikenal masyarakat pada masa itu, karena permainan musik dan
aransemen yang ditampilkan bagus bagi para seniman. Masuknya akordeon ke
dalam Ansambel Musik Melayu mengantikan peran bernian. Akan tetapi, bernian
tidak menghilang begitu saja dari permainan Ansambel Musik Melayu di Kota
Pontianak setelah kehadiran instrumen akordeon dalam Ansambel Musik Melayu di
Kota Pontianak. Beberapa instrumen yang digunakan dalam Ansambel Musik
Melayu seperti (1) biola, (2) gendang rebana, (3) gendang apit (sebuah alat musik
membran yang dimainkan dengan menjepit di antara kedua paha pemain musik
tersebut. Alat musik yang dimaksud dengan gendang apit adalah alat musik yang
berasal dari Indonesia bagian timur yaitu tifa), (4) bongo, (5) gitar akustik, (6)
tamburin, (7) marakas (alat musik yang terbuat dari kelapa yang berisi kacang hijau
atau penabur yang dimainkan dengan cara digoyang-goyang), dan sebagainya.
Peran akordeon dalam Ansambel Musik Melayu pada tahun ini adalah sebagai

pemimpin lagu, sebagai akor dalam lagu, dan sebagai pembuka sebelum lagu
dinyanyikan. Permainan Ansambel Musik Melayu tanpa penyanyi oleh masyarakat
Melayu disebut oleh masyarakat etnik Melayu di Kota Pontianak dengan istilah
instrumental. Seorang penyanyi dengan iringan musik Melayu dalam Ansambel
Musik Melayu dengan sebutan biduan, sedangkan jika dinyanyikan berdua dengan
sebutan duet.
B. Tahun 1966-- 1970
Bernian dalam kurun waktu lima tahun dari 1966-- 1970 perlahan
menghilang dan jarang lagi digunakan dalam Ansambel Musik Melayu di Kota
Pontianak. Instrumen tersebut sudah menyebar ke daerah-daerah diseluruh penjuru
Kalimantan Barat dan sangat jarang dijumpai keberadaan bernian di dalam
Ansambel Musik Melayu di Kota Pontianak. Bernian merupakan instrumen yang
berfungsi sebagai melodi utama, pembuka lagu, dan penganti lirik dalam lagu dalam
Ansambel Musik Melayu. Awalnya bernian digunakan dalam ansambel pengiring
tarian jepin (Zapin) Melayu di Kota Pontianak. Jepin (Zapin) merupakan tarian yang
berasal dari etnik Melayu dengan lafadz-lafadz Islam yang dipengaruhi oleh budaya
Timur Tengah. Tarian ini diadaptasi dari budaya agama Islam yang ditarikan pada
Masa itu oleh kaum laki-laki. Kedatangan instrumen akordeon seolah-olah
mengantikan peran bernian dengan peran yang sama dalam permainan Ansambel
Musik Melayu. Saat itu Akordeon dan Bernian dimainkan dalam Ansambel Musik
Melayu, belum sebagai instrumen pokok dalam iringan tari tradisonal Melayu.
Sanggar-sanggar etnik Melayu yang terdapat di Kalimantan Barat didirikan sekitar
tahun 1980-an hingga sekarang. Pilihan instrumen akordeon dan bernian dalam
Ansambel Musik Melayu dikarenakan oleh belum menggunakan tenaga listrik.
Semua instrumen musik Melayu pada masa tersebut nonelektrik yakni akordeon dan
bernian termasuk dalam kategori instrumen nonelektrik. Cara memainkan kedua
instrumen tersebut dengan memompa udara agar menghasilkan nada yang
dimainkan oleh jari pemain instrumen tersebut.
C. Tahun 1971-- 1975
Menurut Yuni Syahroni seorang seniman di Kota Pontianak, pada tahun 70-
an ini bentuk sanggar belum berdiri tetapi pada tahun ini bentuk komunitas kesenian
tradisi etnik Melayu dibentuk melalui yayasan. Kesenian etnik Melayu di
Kalimantan Barat dikendalikan oleh pemerintah Kota Pontianak, sarana dan
prasarana dibiayai oleh pemerintah Kota Pontianak. Semua bentuk kegiatan yang
berhubungan dengan etnik Melayu yang diselenggarakan oleh pemerintah Kota
Pontianak, menampilkan kesenian yang dimainkan oleh pelaku seni yang dihimpun
oleh yayasan tersebut. Yayasan merekrut orang-orang yang berpotensi dalam bidang
kesenian ke dalam yayasan. Pihak yayasan orang-orang tersebut dilatih dalam
kesenian etnik Melayu baik berupa seni peran, seni tari, ataupun seni musik.
Akordeon bukan hanya berperan sebagai pemimpin lagu, melodi utama, dan akor
dalam Ansambel Musik Melayu, melainkan akordeon juga dimainkan sebagai
pengiring pentas opera. Opera pada lima tahun ini masih dikenal masyarakat dengan
sebutan Tonel. Tonel diartikan sebagai sandiwara, drama, dan opera bagi
masyarakat Kota Pontianak. Tonel merupakan kesenian yang sudah tua di kalangan
masyarakat Kota Pontianak. Tonel diadaptasi dari seni drama di wilayah Keraton
Kadariah, yang pada waktu itu dikenal dengan sebutan Mendu. Tonel disajikan
sebagai hiburan bagi masyarakat Kota Pontianak pada saat itu yang menampilkan
seni drama dengan tema komedi, percintaan, kerajaan. Tonel bukan hanya komedi,

percintaan, kerajaan yang ditampilkan melainkan sajak, puisi, sajian Ansambel
Musik Melayu juga ditampilkan. Orkes-orkes Melayu sering diundang sebagai
pengisi acara hiburan dalam pesta perkawinan masyarakat Melayu. Tidak hanya
satu Orkes Melayu yang diundang sebagai pengisi hiburan lagu-lagu Melayu, tetapi
beberapa orkes lain juga diundang dalam acara tersebut yang ditampilkan secara
bergantian sampai acara pesta perkawinan berakhir.
D. Tahun 1976-- 1980
Berdirinya sebuah program pemerintah di bidang kesenian di Kota
Pontianak pada tahun 1977. Pada tahun 1977 ini akordeon digunakan dalam
berbagai tarian tradisi etnik Melayu akordeon merupakan instrumen yang familiar
di kalangan seniman etnik Melayu maupun permainan Ansambel Musik Melayu
akordeon selain dimainkan sebagai melodi utama, akor, dan instrumen pembuka
sebelum instrumen Melayu yang lain dibunyikan. Beberapa di antara pemain
akordeon dalam Ansambel Musik Melayu menjadi pemimpin orkes, disebabkan
akordeon merupakan instrumen yang menjadi inti permainan lagu Melayu. Jika
tidak menggunakan akordeon permainan ansambel dalam musik Melayu oleh
pemain orkes terasa tidak lengkap dan kurang terbiasa bagi orkes Melayu.
Instrumen yang dibawakan dari Pulau Sumatera ini melalui grup kesenian memiliki
peran yang sangat penting dalam permainan Ansambel Musik Melayu. Banyak
seniman Kalimantan Barat, khususnya Kota Pontianak yang berkunjung ke daerah
Tambelan dan Tanjung Pinang yang menetap di sana. Seniman etnik Melayu di
Kota Pontianak banyak berpotensi dalam bidang musik, banyak yang dikontrak
sebagai pemain musik pada satu di antara orkes yang ada di Pulau Sumatera bahkan
ada yang menikah dan wafat di sana. Orkes di Kota Pontianak sudah mulai
berkembang setelah tahun 1980, dikarenakan oleh oleh beberapa instrumen yang
dimainkan dalam Ansambel Musik Melayu tidak hanya alat musik nonelektrik
seperti bass dan keyboard. Akan tetapi instrumen elektik juga mulai dimainkan
mengantikan permainan instrumen seperti akordeon jika dalam Ansambel tersebut
tidak menggunakan instrumen akordeon. Sanggar-sanggar mulai berdiri pada tahun
1980-an. Semakin maju zaman, instrumen keyboard dapat mengantikan peran
akordeon dalam Ansambel Musik Melayu.
Pemilihan instrumen akordeon dalam Ansambel Musik Melayu selain
memiliki banyak peran, instrumen ini juga tidak menggunakan energi listrik sebagai
penghantar sumber bunyinya karena instrumen akordeon merupakan instrumen
dalam klasifikasi intrumen aerofon (instrumen yang sumber bunyi berasal dari
udara). Tahun 1981-an instrumen akordeon sudah banyak dikenal oleh masyarakat
Kota Pontianak ataupun Kalimantan Barat secara luas, terbukti tiap-tiap sanggar
yang ada di kabupaten-kabupaten memiliki instrumen akordeon sehingga sekarang
akordeon merupakan instrumen yang selalu dimainkan dalam Ansambel Musik
Melayu. Satu di antara pemain akordeon sebuah sanggar Melayu yang ada di Kota
Pontianak beranggapan akordeon merupakan karakter dari permainan musik Melayu
dan kesenian etnik Melayu jika ingin memainkan Ansambel Musik Melayu harus
menggunakan instrumen akordeon.

SIMPULAN
Berdasarkan hasil pengolahan dan analisis data yang telah dilakukan
disimpulkan akordeon sudah menjadi bagian dari ansambel musik Melayu.
Keberadaan akordeon di Kota Pontianak dibawakan oleh para seniman yang berasal
dari Pulau Sumatera (Tanjung Pinang, Riau, dan Tambelan). Masuknya Akordeon
menjadi bagian ansambel musik Melayu menurut para seniman di Kota Pontianak
pada tahun 1961. Peran instumen Akordeon dalam ansambel musik etnik Melayu di
Kota Pontianak menjadi pimpinan musik Melayu, musik iringan lagu-lagu Melayu,
pembangun suasana dalam musik iringan tari, melodi utama, akor pada lagu, dan
sebagai karakter musik Melayu harus menggunakan Akordeon. Kelompok pemain
dalam ansambel musik Melayu pada masa itu menamakan grup musiknya dengan
sebutan Orkes Melayu dan memiliki berbagai macam nama seperti Orkes Tunas
Mekar, Orkes Tanjung Besiku, Orkes Bintang Timur, Orkes Mawar Putih, Orkes
Dendang Gembira, Orkes Tunas Melati, Dendang Melati, dan sebagainya. Beberapa
seniman menggunakan Akordeon dengan 32 bass hingga 120 bass (merk Hohner),
bergantung pada postur tinggi badan yang memainkan instrumen Akordeon.
Sebelum akordeon memiliki peran yang penting dalam ansambel musik etnik
Melayu, instrumen yang memiliki peran yang sama dengan akordeon yaitu
harmonium yang dikenal di kalangan msnyarakat Melayu Kota Pontianak dengan
sebutan bernian.Peran akordeon dapat digantikan oleh instrumen baru (Keyboard
pada tahun 1980-an), jika dalam ansambel tersebut tersebut tidak menggunakan
binstrumen akordeon. Instrumen tersebut dapat menirukan berbagai bunyi yang
dihasilkan oleh instrumen musik etnik Melayu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar