Sabtu, 02 Desember 2017

Krontjong Toegoe

by Mayasari Apulina Lahagu


Victor Ganap

Kontak pertama bangsa Eropa dengan penduduk pribumi di pulau Jawa terjadi
pada tahun 1513 ketika armada dagang Portugis di bawah pimpinan Tomé Pires singgah di
pelabuhan Sunda Kelapa, dalam pelayaran dari Malaka ke Maluku untuk mencari rempah-
rempah.1 Sejak tahun 1511 Malaka memang telah diduduki oleh Portugis dengan
bentengnya A Famosa dibangun oleh Afonso de Albuquerque. Portugis merebut Malaka
karena kedudukan Malaka sebagai kota pelabuhan dan pusat perdagangan yang penting di
Asia Tenggara, selain posisi geografisnya yang strategis bagi pelayaran ke Timur.2 Kontak
pertama itu kemudian meningkat pada tahun 1522 menjadi perjanjian persahabatan antara
Portugis yang diwakili Henrique Leme dengan Kerajaan Pajajaran di bawah Raja Surawisesa.
Perjanjian persahabatan itu memberikan konsesi kepada Portugis untuk membangun loji di
Sunda Kelapa.3 Pembangunan loji itu ditandai dengan pemancangan pilar atau padrão di
lokasi didirikannya loji itu. Bagi Pajajaran, persahabatan dengan Portugis memiliki arti
penting secara politis dalam menghadapi ancaman Demak.4 Di lain pihak, kehadiran orang
Portugis di Sunda Kelapa telah menumbuhkan sebuah wilayah pemukiman baru di sekitar
pelabuhan, yang dihuni oleh kelompok mestizo, peranakan Portugis dengan perempuan
pribumi. Pada tahun 1527 Sunda Kelapa jatuh ke tangan Fatahillah yang berhasil menghalau
semua kapal Portugis dari sana. Sunda Kelapa berganti nama menjadi Jayakarta, dan
diperintah oleh Pangeran Jayakarta dari Kasultanan Banten. Nama Jayakarta digunakan
hingga tahun 1619 sebelum dinamakan Batavia, sedangkan tahun 1527 kemudian
ditetapkan oleh Pemerintah DKI Jakarta sebagai tahun kelahiran kotaJakarta sekarang
ini.Pada tahun 1596 kapal Belanda mulai berlabuh di Jayakarta, lalu pada tahun 1602
Belanda mendirikan perusahaan dagang Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC).
Gubernur Jenderal VOC Jan Pieterszoon Coen pada tahun 1619 menaklukkan Jayakarta, lalu
membangunnya menjadi sebuah kota dengan nama Batavia. Ketika VOC pada tahun 1641
berhasil merebut kekuasaan Portugis di Malaka, mereka membawa sejumlah tawanan
perang ke Batavia. Sebagian besar dari para tawanan perang itu adalah orang Bengali dan
Coromandel asal India, yang direkrut sebagai laskar Portugis di Malaka.5 Menurut peraturan
kolonial Portugis ketika itu, pribumi yang berasal dari mana pun dapat diterima sebagai
orang Portugis dan berhak memakai nama Portugis apabila menjadi Katolik.

Peraturan tentang naturalisasi itu ditetapkan berdasarkan kriteria agama, bukan
atas dasar ras, keturunan, atau tanah kelahiran. Setelah Malaka jatuh ke tangan VOC,
Portugis tetap berkuasa di Goa, India. Sejak abad keenambelas wilayah Goa memang
merupakan basis koloni Portugis yang paling kokoh di Timur,6
sedangkan Coromandel pada waktu itu adalah nama sebuah pantai di timur India, bagian
wilayah raja raja Cola dari Kerajaan Colamandala pada abad kesepuluh, yang sekarang
dikenal sebagai daerah Madras (Chennai). Di Batavia, VOC memperlakukan para tawanan
Portugis itu sebagai budak, dan melarang mereka beribadah secara Katolik. VOC kemudian
menawarkan pembebasan mereka dengan syarat berpindah ke agama Protestan. Setelah
para tawanan Portugis itu menjadi pengikut Gereja Reformasi, mereka kemudian

dibebaskan dari perbudakan, dan kewajiban membayar pajak. Mereka disebut sebagai
kelompok merdequas, atau mardijkers menurut lafal Belanda, berasal dari istilah
Sanskrit maharddhika, secara harfiah berarti pembebasan pajak (tax exempt).7 Baik sebutan
Portugis merdequas maupun sebutan Belanda mardijkers memiliki arti yang sama, yaitu
‘orang yang dimerdekakan’.

Pada tahun 1661 Gereja Portugis di Batavia mendesak kepada VOC untuk
memberikan pengampunan kepada 23 laskar Portugis asal Goa bersama keluarga mereka
asal Banda yang tertangkap ketika melarikan diri dari Pulau Banda. Setelah bersedia
berpindah agama, VOC kemudian memberikan mereka sebuah areal pemukiman baru di
luar kota Batavia, yang sekarang ini dikenal sebagai wilayah Kampung Tugu.8 Arti kata ‘tugu’
lazimnya digunakan untuk menandakan batas suatu wilayah, namun terdapat dugaan pula
bahwa nama Kampung Tugu berasal dari situs ditemukannya sebuah prasasti berbentuk
konikal dan bertuliskan huruf Sanskrit, yang diyakini berasal dari peninggalan Kerajaan
Hindu Tarumanegara pada abad kelima. Sementara itu ada pula pendapat, bahwa ‘tugu’
ditengarai berasal dari kata por tugu ese, atau sebutan lain dari Portugis.9 Sebenarnya areal
itu merupakan tempat yang tidak layak huni karena tanahnya yang berawa-rawa,
sehingga mereka harus menggarapnya dengan susah payah. Berikut adalah kesaksian
penduduk Kampung Tugu tentang situasi pemukiman mereka, ditulis dalam bahasa Portugis
cristão, bahasa Portugis abad keenambelas dengan pengaruh bahasa Melayu. Kesaksian itu
dicatat oleh Schuchardt beserta terjemahannya. Nosoter fika denter oengah kampong ki
piklinoe ki nos loemija Toegoe o thing denter konta pegadoe Becassie podeer Meester
Cornelis. Kampong Toegoe akke thing pertoe bordoe mar o soeli bafoe soebi, na alle thing
sol. Agoe perbebe akke thing trabaloe perbida pos tantoe ki soe agoe salgadoe. (Schuchardt,
1891:42-43)(Kami tinggal dalam satoe kampong jang ketjil jang terseboetToegoe, dan ada
dalam bilangan district Beccasie afdeeling Meester Cornelis. Kampong Toegoe itoe ada
dekat pinggir laoet dan hawa oedara disana ada panas. Aer boewat minoem itoe soesah
sebab soemoer2 banjak jang aernja asin.)

Pada tahun 1700 penduduk Kampung Tugu juga pernah mengalami malapetaka
dengan berjangkitnya wabah penyakit influenza yang menelan banyak korban jiwa karena
wabah itu tidak dapat segera ditanggulangi. Keturunan mereka sejak 1661 masih tetap
bertahan hingga saat ini sebagai sebuah komunitas Kristiani yang minoritas mendiami
wilayah Kampung Tugu, Cilincing, Jakarta Utara. VOC menganggap komunitas Kampung
Tugu berstatus sama seperti kelompok mardijkers di Batavia, sebelum mereka dihapus dari
daftar golongan penduduk kota Batavia pada tahun 1815. Setelah Kapten mardijkers yang
terakhir bernama Augustijn Michiels wafat pada tahun 1833, kelompok mardijkers di
Batavia kemudian sepakat untuk membubarkan diri. Mereka juga Lembaran Negara No.2
tanggal 14 Januari 1840, Pemerintah Hindia Belanda kemudian menetapkan status mereka
sebagai penduduk Bgolongan “inheemsche Christenen”, atau Kristen bumiputera.10 Meski
telah memperoleh status bumiputera, komunitas Tugu yang mendiami Kampung Tugu tetap
mempertahankan budaya Portugis mereka. Komunitas itu pada tahun 1920-an tercatat
meliputi sembilan keluarga besar: Abrahams; Andries; Cornelis; Michiels; Salomons;
Seymons; Quiko; de Sousa; dan Braune. Komunitas yang telah menetapkan tahun 1661

sebagai tonggak sejarah yang amat penting bagi mereka dalam menandai awal kelahiran
komunitas mereka.11Komunitas yang juga memiliki sistem kekerabatan yang terbentuk dari
kehidupan merek asehari-hari sebagai petani, selain ikatan primordial yang terbentuk
melalui jatidiri keportugisan mereka.

Mereka dikenal sebagai komunitas Tugu, komunitas yang telah melahirkan
bentuk musik yang dikenal sebagai genre Krontjong Toegoe. Komunitas Tugu itu memiliki
arti penting dalam penelitian ini, karena mereka merupakan pewaris budaya Portugis yang
berhasil menjalani peran historis sebagai pelopor dari kelahiran musik keroncong di tanah
air. Kepeloporan itu berawal dari sebuah tradisi yang dimiliki komunitas Tugu berupa musik
Portugis abad keenambelas yang diwariskan kepada mereka. Musik itu dibawa oleh para
pelaut Portugis sejak abad kelimabelas dari ibukota Lisbon, kota Coimbra, wilayah propinsi
barat laut Minho dan Douro, serta wilayah kepulauan Azores dan Madeira di Samudera
Atlantik, ketika mereka melakukan pelayaran ke Timur.12 Menurut naskah Peregrinação
tentang petualangan pelaut Portugis, Fernão Mendes Pinto pada tahun 1555 bersama
rekannya de Meirelez, vokalis dan pemusik yang handal turut membawa cavaquinho, gitar
kecil Portugis dalam pelayaran mereka ke Cina.13 Naskah itu juga memuat laporan Philipe
de Caverel pada tahun 1582 yang menyebutkan tentang pelayaran sepuluh ribu gitar
cavaquinho, yang berangkat bersama para pelaut Portugis ke Marokko. Naskah itu
menunjukkan bahwa instrumen musik Portugis cavaquinho telah populer sejak abad
keenambelas, sehingga tidak mustahil juga terbawa dalam pelayaran mereka ke Timur
melalui Goa hingga ke Maluku, atau pelayaran melalui Karibia hingga ke Hawaii. Sejarah
menunjukkan bahwa hanya musik Portugis yang diwariskan dalam bentuk Krontjong Toegoe
di Kampung Tugu itulah yang tetap hidup hingga saat ini, dan menjadi salah satu komponen
yang integral jatidiri keportugisan mereka dan membaur dengan masyarakat Batavia
lainnya. Melalui Lembaran Negara No.2 tanggal 14 Januari 1840, Pemerintah Hindia Belanda
kemudian menetapkan status mereka sebagai penduduk golongan “inheemsche
Christenen”, atau Kristen bumiputera.10 Meski telah memperoleh status bumiputera,
komunitas Tugu yang mendiami Kampung Tugu tetap mempertahankan budaya Portugis
mereka. Komunitas itu pada tahun 1920-an tercatat meliputi sembilan keluarga besar:
Abrahams; Andries; Cornelis; Michiels; Salomons; Seymons; Quiko; de Sousa; dan Braune.
Komunitas yang telah menetapkan tahun 1661 sebagai tonggak sejarah yang amat penting
bagi mereka dalam menandai awal kelahiran komunitas mereka.11 Komunitas yang juga
memiliki sistem kekerabatan yang terbentuk dari kehidupan mereka sehari-hari sebagai
petani, selain ikatan primordial yang terbentuk melalui jatidiri keportugisan mereka. Mereka
dikenal sebagai komunitas Tugu, komunitas yang telah melahirkan bentuk musik yang
dikenal sebagai genre Krontjong Toegoe.

Komunitas Tugu itu memiliki arti penting dalam penelitian ini, karena mereka
merupakan pewaris budaya Portugis yang berhasil menjalani peran historis sebagai pelopor
dari kelahiran musik keroncong di tanah air. Kepeloporan itu berawal dari sebuah tradisi
yang dimiliki komunitas Tugu berupa musik Portugis abad keenambelas yang diwariskan
kepada mereka. Musik itu dibawa oleh para pelaut Portugis sejak abad kelimabelas dari
ibukota Lisbon, kota Coimbra, wilayah propinsi barat laut Minho dan Douro, serta wilayah

kepulauan Azores dan Madeira di Samudera Atlantik, ketika mereka melakukan pelayaran
ke Timur.12 Menurut naskah Peregrinação tentang petualangan pelaut Portugis, Fernão
Mendes Pinto pada tahun 1555 bersama rekannya de Meirelez, vokalis dan pemusik yang
handal turut membawa cavaquinho, gitar kecil Portugis dalam pelayaran mereka ke Cina.13
Naskah itu juga memuat laporan Philipe de Caverel pada tahun 1582 yang menyebutkan
tentang pelayaran sepuluh ribu gitar cavaquinho, yang berangkat bersama para pelaut
Portugis ke Marokko. Naskah itu menunjukkan bahwa instrumen musik Portugis cavaquinho
telah populer sejak abad keenambelas,sehingga tidak mustahil juga terbawa dalam
pelayaran mereka ke Timur melalui Goa hingga ke Maluku, atau pelayaran melalui Karibia
hingga ke Hawaii. Sejarah menunjukkan bahwa hanya musik Portugis yang diwariskan dalam
bentuk Krontjong Toegoe di Kampung Tugu itulah yang tetap hidup hingga saat ini, dan
menjadi salah satu komponen yang integral dalam kehidupan bermasyarakat di Kampung
Tugu. Itu sebabnya sasaran penelitian ini mengarah pada para pemusik Krontjong Toegoe,
yaitu komunitas Tugu. I

stilah Krontjong Toegoe sengaja ditulis menurut ejaan aslinya dalam bahasa
Melayu seperti yang mereka gunakan sejak menempati Kampung Tugu pada tahun 1661,
selain untuk menekankan pada nilai historis dan jatidiri genre musikal yang terkandung di
balik penamaan itu.Bronia Kornhauser yang pada tahun 1973 melakukan penelitian di
Kampung Tugu mengatakan bahwa Krontjong Toegoe yang berusia lebih dari tiga abad itu
merupakan bukti peninggalan Portugis di Indonesia. Tugu holds a unique place in the history
of kroncong. It is living proof of the Portugis-Indonesian heritage of this music. By all
accounts, Tugu is also the place where kroncong originated in Java. To the best of our
knowledge, it has been played in this kampung for the past 315 years and in the major cities
of the island for at least a century. (Kornhauser, 1978:17) Musikolog Amerika Judith Becker
juga mengatakan pendapatnya tentang asal mula musik keroncong yang diperkenalkan oleh
orang Portugis pada abad keenambelas.Kroncong is the generic term for popular,
sentimental songs sung throughout Indonesia and generally believed to have been
introduced by the Portuguese sometime around the 16th century. (Becker,
1976:14)Musikolog Belanda Ernst Heins menganggap selama ini musik keroncong tidak
menarik minat para peneliti untuk diteliti karena alasan berikut. For a long time the
authenticity of kroncong has been taken for granted, and therefore until now has received
not much musicological attention. This is mainly due to the fact that the type is not
considered as “beautiful”, “high”, “pure native music” in the sense of earlier
ethnomusicology.(Heins, 1976:20) Bernard Ijzerdraat, musikolog Indonesia yang bernama
Surya Brata turut mengemukakan pendapat tentang Kampung Tugu sebagai basis lahirnya
musik keroncong di Indonesia. Kerontjong bukan di Djakarta sadja. Kerontjong sudah milik
umum. Malah di Philipina ada sedjenis kerontjong, Kundiman namanja.

Mungkin sekali kerontjong bukan asli Djakarta. Tetapi riwajat kerontjong di
Indonesia bisa djadi mulai diwilajah Djakarta, jaitu didesa Tugu. (Brata, 1968:42)Jaap Kunst,
musikolog yang memperkenalkan istilah ‘ethno-musicology’ untuk pertama kalinya pada
tahun 1950, mengemukakan pendapatnya tentang keroncong.In some cases- this, too, is a
consequence of Western economic expansion- it is Javanese music ousting that of South

and East Sumatra; in other cases it is the monotonous and characterless wail going under
the name of “stambul” or “kronchong” music that causes Indonesians to become more and
more estranged from their own art. (Kunst, 1973:4)Antonio Pinto Da França ketika menjadi
Konsul Portugal di Jakarta pada tahun 1970 telah menerbitkan bukunya tentang pengaruh
peninggalan Portugis di Indonesia.In a short time, the people of Tugu acquired in Batavia the
priviledged position of a small bourgeoisie which occupied the lower posts in the public
offices. The Dutch imposed the new faith and new surnames, but the Portuguese music and
awareness of the Portuguese blood within them stayed alive. (Da França, 1985:22)Saat ini
keberadaan musik keroncong secara nasional telah diakui sebagai salah satu dari khasanah
musik Indonesia.

Komponis Amir Pasaribu dalam analisisnya tentang musik Indonesia, juga
memasukkan keroncong dalam klasifikasi ‘Musik Indonesia’ selain stambul, gambang,
gambus, joget, dan langgam.14 Demikian pula Radio Republik Indonesia ketika menggelar
acara Pemilihan Bintang Radio untuk pertama kalinya pada tahun 1951 sebagai barometer
perkembangan musik Indonesia, telah menetapkan musik keroncong sebagai jenis musik
yang mandiri dan memenuhi syarat secara kelembagaan untuk turut serta dilombakan.
Musik keroncong bahkan telah memiliki para pendukung dan penggemarnya yang tersebar
di seluruh Nusantara, yang menandakan bahwa musik keroncong telah diterima dan
menjadi milik bangsa Indonesia. Secara musikologis keroncong termasuk dalam jenis musik
tradisi populer karena merupakan sebuah tradisi yang tumbuh dan berkembang pada
masyarakat perkotaan. Namun bagi komunitas Tugu di Kampung Tugu, musik keroncong
merupakan sebuah tradisi yang diwariskan secara turu7n temurun.Meski musik keroncong
telah menjadi musik nasional, Krontjong Toegoe tetap merupakan musik dengan gayanya
tersendiri dibandingkan dengan musik keroncong pada umumnya. Lagu dalam bahasa
Portugis cristão masih melekat pada musik Krontjong Toegoe. Perilaku musikal komunitas
Tugu menganggap musik Krontjong Toegoe sebagai pusaka warisan budaya para leluhur
mereka. Perilaku itu ditandai dengan komitmen mereka untuk tetap bermain keroncong
demi menjunjung tinggi amanah para leluhur mereka. Komitmen itu tetap mereka jalankan
dalam kondisi apa pun, tanpa dukungan dari siapa pun, kecuali mengandalkan pada jiwa dan
semangat untuk melestarikan pusaka yang diwariskan kepada mereka. Komunitas Tugu
memiliki keahlian meniru alat musik Portugis cavaquinho dalam pembuatan alat musiknya
sendiri yang disebut keroncong, yaitu gitar kecil berdawai lima dalam tiga jenis ukuran
macina, prounga, dan jitera. Komunitas Tugu meyakini bahwa istilah keroncong sebagai
nama instrumen musik pertama kali lahir dari Kampung Tugu. In the past time, Kampung
Tugu lies isolated from the center of activity and this situation promote the idea to create a
music instrument, made of wood from the environment. This instrument have the form of
small guitar and gives a sound like “crong, crong, crong”, when they play on it. Because of
this specific sound they call this instrument “kroncong” and from this the keroncong music
was born. Keroncong as one of the traditional music, growth and expand in Tugu district in
the year 1661 known as “Real Keroncong”. Because this music was introduced by the
Portuguese generation, fortunately this kind of rhythmic music has much to be influenced
by art of the Portuguese themselves. (UNESCO: “Krontjong de Tugu”, Java: Musique du
Monde)Musik Krontjong Toegoe lazimnya tampil dalam gaya permainan yang bersahaja,

orkestrasi ritmikal dengan ekspresi yang spontan. Syairnya yang parodial dibawakan secara
pot-pourri dalam membawakan lagu Portugis cristão dan Hindia Belanda. Penampilan
kostum pemusik Krontjong Toegoe adalah berupa kemeja koko berwarna putih dan
pantalon motif batik model piyama, dengan syal di leher dan topi hitam model baret.
Penampilan vokalisnya dengan kebaya dan kain batik. Semua menyatu menjadi perpaduan
dari representasi musikal budaya Moor, Portugis, Belanda, Maluku, dan Betawi. Keunikan
gaya musikal Krontjong Toegoe juga terlihat pada instrumentasi yang mencakup dua
keroncong macina dan prounga, serta waditra berciri etnik sejenis mandolin disebut jitera,
yang dilengkapi dengan rebana. Instrumentasi itu merupakan refleksi dari kombinasi
permainan tiga gitar dan tambourine di Portugal dalam mengiringi tari-tarian dari wilayah
semenanjung Iberia.15 Menurut de Haan, istilah keroncong secara etimologis ditujukan
pada tambourine yang digunakan dalam ensambel gitar terdiri dari cavaquinho, viola,
violão, guitarra portuguesauntuk mengiringi tari-tarian Portugis. Ketika kemudian
tambourine tidak lagi digunakan karena digantikan dengan lonceng kecil pada pergelangan
kaki si penari, maka istilah keroncong hanya ditujukan pada ensambel gitarnya saja.Musik
Krontjong Toegoe dapat diperoleh melalui piringan hitam dengan label Musique du Monde
berjudul Java: Krontjong de Tugu.Rekaman itu merupakan bagian dari Serial Musik Dunia
yang ketigabelas produksi UNESCO tahun 1971, terdapat pada arsip diskografi Andre
Michiels. Pemusik Krontjong Toegoe yang turut dalam rekaman UNESCO sebanyak 10 orang
dengan formasi: Jacobus Quiko pada biola; Arend Michiels pada cello; Frans Abrahams pada
gitar I; Joseph Quiko pada gitar II; Marthen Sopaheluwakan pada macina (ukulele I); Samuel
Quiko pada prounga (ukulele II); Opa Waasch pada jitera merangkap vokalis; Fernando
Quiko pada rebana (tambourine); Elpido Quiko pada triangle; dan Oma Christine selaku
vokalis.. Repertoar yang ditampilkan dalam rekaman itu beraneka ragam terdiri dari: Halo-
halo Bandung (lagu nasional); Schoon ver van jou (lagu Hindia Belanda); Oud Batavia (lagu
Hindia Belanda); Pertemuan (langgam keroncong); Surilang (lagu Betawi secara
instrumental); Jampang (lagu stambul Betawi); Kopi Susu (langgam keroncong); Nanas
Bogor(langgam keroncong secara instrumental); Bintang Surabaya (langgam keroncong);
dan Stambul II (instrumental). Rekaman UNESCOmemperlihatkan bahwa lagu Portugis
cristão seperti Moresco, Prounga, Nina Bobo, dan Cafrinho yang menjadi ciri khas Krontjong
Toegoe itu telah digantikan dengan lagu-lagu Hindia Belanda, seperti Oud Batavia dan
Schoon ver van jou. Masuknya lagu Hindia Belanda dalam repertoar Krontjong Toegoe
menunjukkan bahwa musik mereka selama masa Hindia Belanda memiliki masyarakat
pendukungnya di kota Batavia, terutama digemari oleh komunitas Indo-Belanda dan para
laskar tentara Belanda. Gelanggang pasar malam tempo doeloe seperti Pasar Gambir
merupakan wahana penting bagi interaksi Krontjong Toegoe dengan masyarakat Batavia.
Berikut sebagian syair lagu Hindia Belanda Oud Batavia atau Batavia Lama, campuran
bahasa Belanda
dan Melayu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar